February 19, 2013

Selasa dan Segenap Usia

Suatu senja di hari Selasa. Wanita dua puluh satu tahun sedang membasuh air ke wajahnya. Tiga kali. Kemudian tangan, mercu kepala, telinga hingga kaki. Ia berwudhu rupanya. Disegerakannya memakai mukenah, lalu duduk di sajadah. Punggung lelahnya disandarkan pada dinding kamar yang baru lebih setahun dihuninya bersama suami.
"Subhanallah… walhamdulillah…wala ilaha illallah…wallahu akbar…"
Bibirnya memuja-muja Tuhan. Suara lembutnya menyejukkan. Pelan serupa bisikan. Matanya memejam, menghayati kalimat suci dalam-dalam. Tangannya mengusap lembut bagian perut. Tampak usia kandungan yang tak lagi muda.
"Subhanallah… walhamdulillah…wala ilaha illallah…wallahu akbar…"
Wajah cantik alaminya memancar tanpa polesan bedak dan riasan. Ia hanya mendandani diri dengan air wudhu lebih dari lima kali dalam sehari.  Di luar sana, langit oranye kian memerah. Pertanda maghrib segera tiba. Ia masih di tempat yang sama. Melantunkan kalimat suci sembari mengusap perutnya. Di luar sana, para muazin di seluruh dunia tengah bersiap mengumandangkan azan.
"Allahuakbar.. Allahuakbar.."
Bersahut-sahutan. Bumi mengingatkan. Memeriahkan semesta dengan seruan. Pergantian siang ke malam. Seorang wanita mulai kesakitan. Pecah ketuban.
Tak ada tanda-tanda sepanjang siang. Seperti hari biasa, sakit perut pun tidak. Sekarang ia kebingungan. Sebagian tubuhnya sudah basah oleh ketuban. Keringat dan air mata bercucuran. Sakit luar biasa tengah ia rasakan.
Seorang pria berperawakan kurus dan berkulit cokelat gelap berlari ke dalam rumah. Mulanya ia sedang memandang langit, bershalawat sembari menunggu maghrib. Begitu mendengar azan, ia bergegas ke masjid. Namun tiba-tiba saja keningnya mengernyit. Secepat cahaya, ia kembali masuk ke dalam rumah. Menghampiri istrinya.
Belum sempat menunaikan Magrib, keduanya terpaksa menyegerakan ke rumah sakit. Istri sekuat tenaga menahan sakit. Suami tak mampu menyembunyikan panik. Inilah kali pertama keduanya berhadapan langsung dengan ambang hidup mati.
Begitu istrinya ditangani dokter serta beberapa suster, ia berlari mencari tempat suci. Napasnya tersenggal, jantungnya berdegup kencang. Ditunaikannya maghrib dengan sederetan sunah, seperti biasa. Seusainya salat, tangannya diangkat. Telapaknya basah, gemetar tak karuan. Kali ini, air matanya pecah. Hanya kepada Tuhan, ia menumpahkan kegelisahannya. Sebab untuk istrinya, ia ingin menjadi luar biasa. Takkan dibiarkannya wanita itu tahu lelah-lelahnya. Takkan dibiarkannya wanita itu kelaparan, walaupun ia sama sekali belum makan. Maka pada pergantian siang ke malam, ia memanjat pohon doanya.
Beberapa orang memasuki musala ketika pria itu bangkit dari sajadahnya. Mereka menunggu isya rupanya. Setelah bersapaan, ia permisi keluar. Langkahnya tergesa-gesa, ia tak mau membiarkan istrinya sendirian saat bertaruh nyawa. Di ruang petak serba putih itu, seluruh momentum sekarat disaksikannya dari dekat. Detik jarum jam dan segalanya bergerak lambat. Lekat-lekat, ia menaruh harap.


Selasa, sembilan belas Februari silam. Sedari azan maghrib hingga isya, seorang wanita menahan sakit luar biasa.

Selasa, sembilan belas Februari silam. Ada sajadah yang basah oleh ketuban. Ada sajadah yang menadah segala harapan. Sajadah meng-amin-kan.

Selasa, sembilan belas Februari silam. Seorang wanita berdiri di ambang kematian. Atas nama azan yang memeriahkan semesta, ia takkan menyerah pada rasa sakitnya.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Seorang pria tak lagi mampu membendung air matanya. Tak peduli seberapa lelah, ia selalu siap melawan ketakutannya.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Ada ketuban pecah saat maghrib datang. Ada bayi merah yang diantar Jibril ke dunia.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Azan isya dan tangis bayi merah saling bersahutan. Pertanda kehidupan dan sepaket kebahagiaan.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Sepasang suami istri tengah naik tahta sebagai orang tua. Ibu dan ayah.


Bayi merah yang gendut luar biasa. Berambut halus dan tertidur nyenyak hanya jika perutnya kenyang. Bayi merah gendut yang hari ini berusia 22. Bayi merah gendut yang menolak lupa pada segala perjuangan orangtuanya. Bayi merah gendut yang menjadikan kebahagiaan keluarga sebagai napasnya. Bayi merah gendut yang murka jika mendapati orangtuanya dibuat luka. Bayi merah gendut yang berdoa untuk dipanjangkan usianya agar bisa menjaga senyum tetap merekah di wajah orangtuanya. Bayi merah gendut yang sedang susah payah menahan tangis saat mengetik cerita di sembilan belas Februarinya. Bayi merah gendut yang mencintai ibu dan ayahnya dengan kesederhanaan yang megah.


Di tempat terdekat,

2 comments:

Anonymous said...

Selamat bertambah dewasa 'Bayi merah gendut yang mencintai ibu
dan ayahnya dengan kesederhanaan
yang megah'. :')

-pria yang menolak lupa untuk menjadi penggemar tulisanmu sedari awal kenal dan jatuh hati karenanya-

*copas kata2 kamu dikit gpp lah ya mbak :p

aska said...

Hai Bayi Gendut Merah yang cantik secantik diusia-nya yg telah menginjak 22 dan si bayi gendut merah yang membuat saya terjatuh karena-nya mungkin ini bisa dibilang jatuh hati.. whats ever lah, selamat hari lahir si bayi gendut merah tetaplah menjadi diri mu sendiri.

- I'm Athar -