September 28, 2014

Days At The Museums #DAY2

*…continued from previous post*


Honestly, I'm surprised I've gotten this far typing the 'Days At The Museums' post again right now. Lol.

#DAY2

NATIONAL MUSEUM OF INDONESIA

The second day of my free time was so sunny. Fortunately, the air conditioning in the museum was working well so that I had no prob. The building was big enough, and it has a big yard outside. I amazed, the National Museum was different with other museums I've ever visited. Well organized, clean area, good display with beautiful garden. It was excellent for a museum with the entrance fee only Rp 5000. Definitely worth to visit.
This museum is also known as Elephant Museum, because of elephant sculpture made of bronze medal that given by King Chulalongkorn of Thailand in 1871, which is now on the front lawn of the building. National Museum has more than 140,000 collections consist of prehistoric, archeological, foreign ceramic, numismatic/heraldic, colonial, ethnographical and geographic.








NATIONAL ARCHIVES MUSEUM

National Archives Museum was originally the house of the former Governor-General of VOC; Reiner de Klerk, in the 18th century.
Thing that caught my attention when I came here was the building's architecture. This main red brick bulding has two floors with a high roof, carved door and vintage windows. It also has a large garden at the front and rear of the main house. Beautiful design of colonial building.













September 26, 2014

Days At The Museums #DAY1

You can call me old fashioned, but I'm the type of person that automatically decide to choose art galleries, libraries, and museums to visit, rather than malls, beauty salons, and night clubs. So last week when I have two free days, I spent most of the time visiting places I've listed since a long time ago.

#DAY1 

TEXTILE MUSEUM OF JAKARTA

I'm interested in the history of Indonesia's textile, so I visited the museum that was build in the early 19th century under the auspice of the former first lady Madam Tien Soeharto. Textile Museum collections consist of traditional textile from various territories in Indonesia like Batik, Ikat, Tenun, Songket, and Celup. The museum has a workshop on the back of the site where Batik is being made on a daily basis and where tourists are able to make their own souvenirs. Textile Museum is open from Tuesday to Sunday from 9 a.m. to 3 p.m. with ticket prices of Rp 5000 for adults, Rp 3000 for college students and Rp 2000 for students.






NATIONAL GALLERY OF INDONESIA

The National Gallery of Indonesia is a museum and an art gallery in Jakarta. Luckily, there was a Visual Art Exhibition at C building when I visited the gallery. All the art works held together in one concept called Cultural Interpretation and Dialogue. This exhibition displayed art works that created by six Artist in Residence; Fachriza Jayadimansyah (Indonesia), Lala Bohang (Indonesia), Maria Vasquez Castel (France), Laura Mergoni (Italy), Tetsuro Kano (Japan) and Young Choi (South Korea).














NATIONAL LIBRARY OF INDONESIA

The library which is located in two separate buildings; at Jl. Salemba Raya No. 28A and Jl. Merdeka Selatan No. 11, both in Central Jakarta ––boasts a collection of 1,8 million books and documents, including 10.000 antique manuscripts with the oldest dating back to the 12th century.
Well, I chose the library at Jl. Merdeka Selatan to visit. Although the library is open for the public, but it doesn't lend the collections to take home. But that was okay, because it's easy for me to get buried under a bunch of books.




June 24, 2014

Kacamata Ayah

Saya sedang memejam ketika kepala saya terlintas kerinduan berbagi cerita di blog ini. Segera saya membuka komputer jinjing tua yang saya dapatkan sebagai hadiah dari ayah ketika saya berhasil lolos ujian saringan masuk universitas yang ayah saya inginkan. Iya, tempat kuliah yang bukan saya inginkan. Ah, sudahlah. Terima kasih ayah, laptop ini berguna.
Sedari setengah jam lalu saya sedang mencoba untuk tidur kembali namun gagal. Ini bukan lantaran saya terlalu kenyang melahap waktu dengan tertidur, sebab jelas-jelas saya baru terlelap kurang dari satu jam. Ini perkara semangat yang mendadak muncul untuk berbagi cerita dari kejadian yang baru saja saya alami. Terlebih saya baru menyadari, belum ada postingan tentang ayah sebelum ini. Belum lagi waktu saya yang senggang sebab tidak ada jadwal meeting hari ini. Maka mulailah jemari saya kembali menari di lantai dansanya sendiri.
Baru tertidur sehabis subuh tadi, saya dibangunkan Rizky (adik saya) yang memberitahu bahwa ayah baru saja menghubungi. Dengan sedikit takut karena tahu saya baru saja pulas, dia meminta saya bangun untuk segera mengantarkan kacamata ayah yang ada di rumah. Kebetulan ayah kami sedang dinas ke kawasan Gunung Sahari, Jakarta Utara.
Mendengar itu, saya sontak bangun dan langsung menghidupkan mesin mobil. Tak lebih dari lima menit, kami (saya dan Rizky) sudah meluncur untuk mengantarkan kacamata ayah. Baru kali ini saya mensyukuri kemacetan, sebab saya bisa menyetir sambil mengumpulkan nyawa-nyawa yang rasanya tertinggal di tempat tidur. Di jalan menuju kantor ayah, saya menanyakan soal kacamata ayah pada Rizky. Entah bagaimana, rupanya kacamata ayah terjatuh di jalan ketika beliau dalam perjalan menuju kantor tadi. Sesampainya di kantor, beliau segera menghubungi saya. Namun seperti biasa, saya tak pernah lupa mematikan ponsel sebelum tidur. Maka jadilah adik saya yang juga baru memejam sehabis subuh, terbangun oleh dering panggilan masuk dari ayah.
Saya terbayang bagaimana ayah berkendara hingga ke kantor dengan pandangan kabur. Oh ya, ayah saya adalah pengendara motor. Pasti mata beliau memerah karena menahan perih asap kendaraan dan polusi di jalan. Pasti tubuh beliau lebih lelah karena konsentrasi dan waspada yang berkali-kali lipat dengan mata kaburnya. Bagaimana kalau beliau tidak melihat ada lubang di jalan? Bagaimana kalau beliau tidak melihat ada kendaraan lain yang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi? Ah, cepat-cepat saya membuyarkan lamunan hasil kekhawatiran yang saya timbulkan sendiri.
Ayah bisa menghubungi Rizky sudah berarti beliau baik-baik saja, saya membatin.
Kebon Jeruk – Tanjung Duren – Roxy – Gajah Mada – Hayam Wuruk – Gunung Sahari, begitu rutenya. Warga Jakarta tentu tahu, itu jalur macet luar binasa. Singkatnya, sampailah kami di depan kantor ayah. Lima menit menunggu, ayah menghampiri saya dan Rizky dengan wajah ceria dan tak lupa berterima kasih pada kami. Sungguh, saya tidak membual, sungguh, lelah saya lenyap seketika. Entah reaksi kimia macam apa, mengingat kondisi saya yang sedang fakir tidur dan datang bulan hari pertama, kemudian menembus kemacetan Jakarta dengan perut keroncongan yang meronta, mendadak sirna begitu melihat wajah beliau yang sumringah. Beliau bercerita perihal kacamatanya. Saya memperhatikan ayah, hingga tiba-tiba sekeliling saya bergerak melambat, waktu berdetak pelan. Saya melihat ayah, dengan rambut yang tidak hitam lagi, tubuh yang tidak setegap dulu lagi, dan keriput-keriput yang semakin jelas terlihat.
Ayah yang dulu gemar menggendong saya di pundaknya sambil lari berkeliling di Taman Monas, kini menepuk pundak saya untuk berterima kasih karena sudah mengantarkan kacamatanya. Ayah yang dulu hobi memboncengi saya berkeliling Jakarta dengan Vespanya, kini meminta tolong saya untuk menembus kemacetan dari Jakarta Barat ke Jakarta Utara. Ayah yang dulu sangat keras mendidik saya, kini sedang tertawa dengan keriput di wajah dan rambut ubannya.
Oh Febie, lihat ayahmu! Time flies so fast! Saya meringis dalam hati. Seketika saya merasa begitu takut. Saya takut kehilangan ayah. Saya takut beliau pergi sebelum saya benar-benar bisa membahagiakannya. Saya takut beliau pergi sebelum anak wanita satu-satunya ini membawa pria untuk meminta restunya. Saya takut bukan ayah yang menjabat tangan pria pilihan saya saat ijab---yang entah kapan. Saya diserang rasa takut yang terlalu mendadak. Beruntung, kacamata hitam di wajah menutupi air yang menggenangi mata saya. Ayah kembali melanjutkan rapat yang sedang berlangsung di kantornya, sementara saya dan Rizky kembali berkubang di kemacetan Jakarta.
Ya Tuhan, kalau ayah minta gunung dan gunung bisa dipindahkan, pasti saya bawakan untuk ayah, dalam hati saya curhat ke Tuhan.
Pagi ini, saya bersyukur telah diberikan rasa kerepotan yang membahagiakan. Saya bersyukur masih memiliki ayah yang wajah cerianya menjadi obat lelah dan nyeri haid hari pertama. Saya bersyukur ayah meminta tolong pada saya, artinya beliau mengandalkan saya. Saya bersyukur ayah masih ada, masih bersama saya dan keluarga. Saya bersyukur karena Tuhan begitu baik pada saya dengan menyuruh malaikat-malaikat-Nya menjaga ayah saya sepanjang perjalanannya yang tanpa kacamata. Saya bersyukur untuk hal-hal sederhana.
Pagi ini, dengan wajah serupa zombi, saya belajar lagi. Bahwa tiap-tiap kejadian akan menjadi cerita yang berbeda dengan sudut pandang yang dipilih oleh pelakunya. Seperti cerita saya di atas, misalnya. Bisa saja saya memilih untuk melanjutkan tidur, atau tetap mengantarkan kacamata untuk ayah namun dengan wajah cemberut dan hati yang kesal. Atau bisa juga saya menyetir ugal-ugalan untuk mengantarkan kacamata ayah dan kembali ugal-ugalan agar cepat sampai rumah. Oh, atau bisa juga saya menggerutu dan mengeluh sepanjang Kebon Jeruk – Gunung Sahari – Kebon Jeruk sampai mulut berbusa. Bisa. Mungkin bisa. Namun saya memilih untuk mensyukurinya. Karena dengan ikhlas, maka semua akan baik-baik saja. Terima kasih Tuhan, atas rasa kerepotan yang membahagiakan.

Selamat pagi, selamat memejam kembali.
-FA


May 5, 2014

....

Aku mencintaimu dari titik nol,
dari masa tak ada rasa,
lalu kamu menumbuhkannya.

Aku mencintaimu tanpa jeda,
Ketika rasa mulai ada,
Ku biarkan penuh tak bersela.

Aku mencintaimu dengan segala,
saat susah,
hingga bahagia.

Aku mencintaimu dengan sederhana,
hingga akhirnya kamu menuntut sempurna,
aku bisa apa?

Aku mencintaimu dan terluka,
ketika setia yang ku punya,
kau balas dengan dusta.

-FA

October 13, 2013

Mencintai Dengan Tahu Diri

Saya sedang duduk di depan cermin ketika sahabat terbaik saya datang dengan wajah muram. Ia duduk di hadapan saya. Terdiam lama menatap saya yang tengah diam menatapnya.
"Have you ever fall for someone you haven't even met? And you just wish over time if that someone would ever fall for you too."
Saya tidak menjawab.
"Bahagiaku tidak bergantung padanya. Tetapi kehadirannya membuatku bahagia. Sampai suatu pagi aku membaca teks darinya. Ia bilang, ia akan berhenti mendekatiku sebab ia merasa itu hanya menggangguku. Ia mengira aku bosan dengan segala perhatian yang ia berikan padaku."
"...nggg oke, terus?" Akhirnya saya bersuara.
"BAGAIMANA AKU BISA BOSAN, SEMENTARA SEGALA PERHATIAN DARINYA ADALAH KEBAHAGIAAN?" Ia menjawab dengan nada tinggi. Ada genangan air di kedua matanya.
"BAGAIMANA IA BISA BERPIKIR BAHWA AKU MERASA TERGANGGU, SEMENTARA AKU SELALU MENDAPATI DIRIKU KECEWA TIAP KALI PONSELKU BERDERING NAMUN BUKAN DARINYA?" Pipinya mulai basah. Suaranya menyiratkan keputus asaan.
"Aku harus bagaimanaaaa?" Tangisnya pecah.
Saya diam.
"Kau kan tahu, aku tidak pandai dalam urusan seperti ini. Kalau saja aku mahir, aku tentu tidak melajang selama ini. Empat tahun tidaklah singkat untuk dilalui sendiri, kau tahu?" Ia melanjutkan.
Saya masih mendengarkan.
"Lalu ia hadir. Tidak ada hal istimewa yang ia lakukan padaku, namun kehadirannya membuatku merasa cukup."
"Sejauh ini kedekatan kami memang hanya melalui teks dan telepon. Belum sekalipun kami pernah bertemu. Ia di luar pulau sana, sementara pekerjaanku di sini belum memungkinkan untuk aku bisa cuti."
"It's weird and beautiful, yet sad at the same time that you can't meet that someone whom you're able to hold a long convo with, everyday."
"Aku dan dia adalah sepasang rindu yang masih dipisahkan temu."
Ia masih bercerita saat sekilas saya menangkap senyum di bibirnya.
"Aku bahagia sewaktu ia mengakui kecemburuannya pada seorang pria yang juga mendekatiku. Terlebih lagi, ia mengenal pria tersebut. Kau tahu? Ia lucu sekali jika sedang cemburu." Senyumnya merekah.
"Sayangnya ia tidak tahu, hanya ia yang kubiarkan mendekatiku." Senyumnya kembali hilang.
"Ia bilang sayang padaku. Namun aku tak turut membalas ucapannya."
"Sampai sekarang ia tidak tahu, pria yang pernah dicemburuinya itu bahkan tak pernah aku tanggapi. Pun ia tidak tahu bahwa aku...entah bagaimana--aku berharap tidak mencintainya, tapi aku punya perasaan padanya. Tidak jelas apa namanya perasaan seperti ini. Tidak masuk akal. Kami bahkan belum pernah bertemu."
"Itu namanya...cinta," ucap saya.
"Tak perlu kau tegaskan," balasnya kesal
"Mengapa tidak kamu jelaskan padanya? Mengapa kamu biarkan ia membenarkan kesimpulannya?" Saya bertanya heran.
"Karena aku mencintai dengan tahu diri." Jawabannya membuat saya merinding.
"Maksudmu?" Saya menuntut penjelasan.
"Dia pria baik. Menyenangkan. Mempesona dalam kesederhanaan. Punya wajah rupawan dan cukup terkenal. Tak heran banyak wanita cantik di sekitarnya. Sementara aku, hanya begini adanya." Wajahnya tertunduk.
"Aku tidak yakin hanya aku wanita yang ia dekati. Ia punya begitu banyak pilihan di sana. Sementara aku jauh di sini, dan hanya begini. Aku sadar diri. Tetapi kedekatan ini membahagiakan. Rumit memang. Kupikir jika aku mengetahui yang sebenarnya, aku pasti akan patah hati. Kau tahu, ini seperti minum racun yang enak rasanya. Itulah mengapa aku tak kunjung meminta kejelasan hubungan kami padanya. Ia tak suka ribet, aku pun tak ingin drama."
"Oh tentu. Silakan tertawa!" Katanya, begitu melihat saya mematung.
"Jatuh hati pada yang belum pernah ditemui adalah kebodohan," ucapnya.
"Namun itu bukanlah kesalahan," saya memotong.
Ia menatap saya.
"What? People are stupid when they're falling in love," saya menambahkan.
"Kebodohanku memang keterlaluan. Bahkan saat ia pamit untuk berhenti mendekatiku, aku tidak mengatakan apa-apa." Ia melemparkan pandangannya ke arah luar jendela.
"It's ok. Being stupid is better because we learn. In a very hard way. Sometimes." Saya mencoba bijak, namun sepertinya gagal.
Ia tersenyum sinis. Saya bertaruh dalam hati bahwa ia akan meludahi saya beberapa detik lagi. Ah, saya tidak akan kelepasan sok bijak lagi kalau begitu.
"Atau...ia sengaja memanipulasi keadaan agar punya alasan untuk menjauhiku? Jadi ini semua hanya skenario agar ia tak terkesan menyakitiku?" Ia nampak berpikir.
Saya sedikit lega dalam hati sebab ia tidak jadi meludahi saya.
"Jangan suka membenarkan kesimpulanmu sendiri!" Saya mengingatkannya.
"Saat ini, aku bahkan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang seharusnya aku lakukan dan mana yang tidak," jelasnya dengan wajah kembali tertunduk.
"Aku benar-benar tidak tahu apakah ia berharap aku mencegahnya atau membiarkannya pergi?"
"Aku tidak ingin salah memperlakukannya. Entahlah."
"The last things I know is when you care about someone, you want them to stay."
"..."
"But sometimes, showing you care means letting them go."

DEG!

Saya menatap sosok sahabat di depan cermin ini. Saya mematung lagi. Lama sekali.

-FA

July 11, 2013

2mad eatery, Kemang

Ramadhan has coming. The holy month of fasting from dawn to dusk and offering our prayers to the Almighty. Fasting during Ramadan is one of the five Pillars of Islam. So happy fasting, dear my Muslim friends. J
Well if you are looking for a cozy resto with great foods to break the fast, 2mad eatery is the right place for you. At The Brodway Kemang, Jl. Benda Raya No.46 Unit B, Jakarta Selatan, 2mad eatery born as a new bistro and dining. I came here a week ago. It has an ambience that absolutely complements the friendly service. There is a bar in first floor, also with dining tables. I just walked to the second floor and found the different concept with unrefined elements. It’s cool indeed! The interior design were inspired from Madison Avenue in New York City makes it so full of art. I was also fascinated with the stuffs in gallery represents some of the products from 2madison lifestyle store at this second floor.
1st floor
1st floor
2nd floor
2nd floor
2nd floor

2mad eatery serves western and fusion food as their mainstay. I tried Grilled Gindara Fish Fillet with lyontnaise potato, mixed vegetables, and creole sauce. Delicious!
Oh and, you know? I fall in love with their Ice Blend Green Tea. It’s going to be one of my favorite green tea in Jakarta.





menu

Nom nom~
-Febie

July 4, 2013

FED UP

I was like  --------->>

Yoo man, don't ask!

I'm fucking need holiday to refresh my brain.
Oh umm, so...anyone? :p


Bloody fed up,

June 27, 2013

Bahagia

Dari kursi kayu di sudut koridor, aku memandang adikku yang tengah berdesak-desakan mengantri di depan ruang multimedia sebuah Sekolah Menengah Kejuruan Penerbangan di Jakarta Selatan. Ia sedang mendaftar ulang. Masih terekam jelas di ingatanku, betapa gembiranya ia saat mengetahui dirinya lolos saringan masuk di sekolah tersebut. Aku sedang bekerja saat menerima kabar darinya sore itu. Ah, segera ku bereskan pekerjaanku dengan hati bahagia, agar bisa lekas pulang ke rumah.
"Besok temenin gue daftar ulang ya Kak" pintanya.
"Cium dulu!" candaku seperti biasa tiap kali menjawab permintaannya.
Pagi ini, aku begitu semangat melepaskan kehangatan kasur dan selimut tercinta. Bergegas mandi dan sarapan, lalu mengantar kesayanganku ini ke sekolah barunya.
Dan di sinilah aku. Duduk dengan keringat mengucur deras di pelipisku. Panas Jakarta sedang kurang bersahabat hari ini. Riuh suara para wali murid yang ikut mengantar anaknya daftar ulang. Wajah bahagia dan penuh bangga jelas terlihat di sana. Sama sepertiku. Duduk kepanasan dan berkeringat begini masih tidak mampu melunturkan rasa bangga pada adik lelaki bertubuh besar yang berdiri di sana. Aku terus memandangnya dari kejauhan, sementara pikiranku kembali melayang pada hari dimana aku, adikku dan orangtua kami terlibat pembicaraan serius tentang ini.
Orangtua kami kurang setuju dengan keinginan adikku melanjutkan pendidikan ke SMK, dan mengarahkan adikku untuk memilih SMA. Alasannya jelas, karena selulusnya adikku dari sekolah menengah atas, ia diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke dunia perkuliahan, bukan langsung bekerja. Namun adikku, yang sama sepertiku, begitu mengidolakan sosok Bacharuddin Jusuf Habibie, ingin melanjutkan pendidikan di SMK Penerbangan. Belum lagi, cita-citanya yang ingin menjadi pilot semakin membulatkan keinginannya.
“Gue mau jadi pilot, kak. Lulus dari SMK Penerbangan kan gue bisa lanjut sekolah pilot. Kalaupun akhirnya nggak bisa jadi pilot karena mata gue minus, minimal gue yang bikin pesawatnya, kayak pak Habibie,” begitu selalu ia menjelaskan padaku.
Maka, aku menjadi orang pertama yang menyetujui keputusannya untuk mendaftar di SMK Penerbangan. Ia gembira. Aku pun.
Aku hanya tak ingin ia menempuh pendidikan yang tidak sesuai keinginannya. Aku hanya tak ingin jagoanku ini belajar dengan terpaksa. Aku hanya tak ingin melihatnya tersiksa dengan segala kerumitan yang muncul bukan atas pilihannya. Aku hanya tak ingin hidupnya disetir oleh rasa takut pada orangtua.…sepertiku, dulu.
Ah, sudahlah.
Akhirnya, Sabtu pagi yang lalu, aku dan adikku sengaja mengajak orangtua kami ikut ke kedai kopi 24 jam yang memiliki jaringan Wi-Fi untuk melihat detik-detik adikku mendaftarkan diri ke tiga sekolah pilihan secara online. Saat itulah aku meyakinkan orangtuaku untuk menyetujui dan mendukung pilihan adikku. Aku bahkan berani menjamin mereka untuk tidak mengkhawatirkan perkara biaya.
“Makasih, kak” ujarnya diam-diam saat semua selesai dan sesuai rencana.
Aku bahagia luar biasa.
Hari ini, banyak doa yang ku rapal dalam diam…
Semoga Tuhan memeluk segala doa-doa dan harapan tanpa dibuat sia-sia. Semoga Tuhan menerima amin dari seluruh penjuru semesta. Semoga bahagia kami kemaren dan hari ini, akan dibuat-Nya berlipat ganda di hari kemudian.


Terima kasih. Segala puji bagi-Mu, Sang Maha.

May 31, 2013

Wanita

Aku tidak baik-baik saja...

"Kamu kenapa?"

"Enggak apa-apa."
"Kok diem?"
"Aku ngantuk, hehehe."
"Aku kangen kamu."
"Hmm.."

Lantas mengapa tak menemuiku? Aku ingin menangis di pelukanmu. Aku membutuhkanmu. Aku sangat membutuhkanmu.


"Hmm doang?"
"Ehehehe. Kamu lagi ngapain?"
"Aku lagi nonton dvd, lagi kangen kamu juga."
"Hahaha wuuuh!"
"Kamu lagi apa?"
"Aku lagi tiduran aja, ngantuk soalnya."

Aku lagi gak baik-baik aja. Seandainya aku bisa menceritakan ini padamu...


"Yaudah, kamu mau tidur sayang?"

"Iya, nanti juga ketiduran sendiri kok."

Bagaimana bisa aku tertidur, sementara pikiranku begitu penuh. Salah satunya, olehmu.


"Sayang, kalau kamu ada masalah atau kenapa-kenapa, kamu bisa cerita sama aku. Aku sayang kamu. Aku gak mau jadi bayangan kamu yang cuma ada saat terang aja, aku juga mau ada saat gelap juga, kayak yang kamu bilang waktu itu."

"Hahaha, kamu inget?"
"Bahkan masih aku simpan baik-baik, semua."
"Hoo hehehe.."
"Aku sayang kamu."
"Hmm.."
"Aku sayang kamuuuu.."
"Hmmmm...."

Aku juga sayang kamu. Sangat. Aku...takut...kehilangan...kamu...kalau akhirnya kamu tau tentang ini...


Lalu meneteslah air mata... Tak ada yang dipeluknya... Tak ada yang menghapus air matanya... Tak ada yang menenangkannya...

Andai saja air mata ini bisa ku tuang ke dalam cangkir. Akan ku minta kau meneguknya, agar  kamu tau sepedih apa kegelisahan yang ku rasa. Aku tak bisa bercerita... Aku tak bisa...

Wanita ini terdengar ceria, padahal hatinya kekenyangan duka. Wajah lelahnya tertunduk. Baru kali ini, ia merasa begitu lemah. Ia benci menjadi lemah. Namun ia tak punya daya.

Wanita ini masih menangis. Sendiri.


-F.

May 28, 2013

Kepada Hilang

"Have you ever noticed that everytime you lose something good, something better always comes around?"


Begitulah bunyi tweet saya pada Selasa pagi ini. Pertanyaan atau pernyataan? Entahlah. Saya hanya mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa saya --yang merasa kehilangan-- akan menemukan sesuatu sebagai penggantinya. Saya hanya mencoba menenangkan diri. Iya, memang seperti hidup pada umumnya. Yin dan Yang. Temu dan hilang. Semua seimbang. Hanya saja rasa kehilangan yang saya alami dua minggu belakangan ini, begitu dalam. Tajam. Namun, letak masalahnya adalah....

Saya belum mengetahui bagian mana dari hidup saya yang hilang. Saya tidak tahu, saya telah kehilangan apa.

Jika rasa kehilangannya tak sedalam ini, sudah pasti saya abaikan. Tapi...ini kehilangan yang begitu dalam. Dada saya sesak dibuatnya. Pikiran saya kemana-mana. Konsentrasi terpecah. Perih rasanya. Namun tak ada airmata. Jelas saja, karena saya tidak tahu mau menangisi apa...menangisi siapa.

Maka kepada Hilang...beri tahu saya, apa yang sudah kamu tiadakan? Agar saya bisa mengobati perihnya kehilangan. Agar saya tahu bagian mana yang dikosongkan. Agar saya tahu caranya menemukan.

Persetan. Tapi...jika kau berkenan, saya akan berterima kasih atas kerendahan hatimu, Hilang.


F.

May 13, 2013

Untuk Kartini

Ia yang tak pernah meminta hormat,
menyembunyikan beban hingga liang lahat.
Namun tabah saja tidak cukup kuat,
menjadikan penerusnya menjaga martabat.

Hidupnya berseni,
hingga mati di atas kaki sendiri.
Disebut pejuang emansipasi,
dengan atau tanpa sisipan narasi.

Atas nama liang kehidupan,
tangguhlah kau para perempuan.
Pusaran tiap kenikmatan,
lelah-lelahmu akan dihitung Tuhan.

Demi waktu yang tak berbatas,
dan ruang yang tak berpijak.
Maha benar Tuhan menyurgakan
telapak kaki perempuan.


February 22, 2013

Secangkir Puisi

segalanya ada, segalanya tersedia, untuk diminum olehnya….
....ia akan memilih isi cangkirnya sendiri

tiga tahun lalu, ia mengejutkan se-bumi raya
isi cangkirnya meluber, kepenuhan entah minuman apa
ia sengaja, sebab ini minuman yang diincar se-bumi raya
“bagaimana ini bisa mengecewakan, sementara ini yang kalian impikan?”
begitu jawabnya, tiap kali mendapati tanya

sedikit-sedikit diteguknya karena penasaran
namun tiba-tiba ia tersedak, ia pusing mendadak
darahnya muncrat, lambungnya menolak
pihak medis mengeluarkan pernyataan
bahwa minuman itu selalu merenggut korban

seorang sahabatnya diam-diam meneguk nikmat
seorang sahabatnya adalah pecandu dosa kelas berat
dituangnya minuman itu ke cangkir seorang sahabat
dituangnya dengan sembarang sebab ia telah sekarat
“teguklah bekasku, secangkir keparat untuk seorang sahabat!”

sementara ia hijrah membawa kesakitannya
masih belum ditemukan obat penawar luka
sendiri, ia berjuang dalam waktu yang lama
sendiri, ia masih menjaga cangkir miliknya
ia meninggalkan segala, namun ia menolak lupa

“sebut aku pengecut, aku tak lagi mau bertemu malaikat maut”
begitu jawabnya, tiap kali mendapati tanya
cangkir kosong masih bersamanya
racun telah melukis noda yang tak kunjung punah
ia meninggalkan segala, namun ia menolak lupa

setahun berlalu, ia menengok cangkir kosongnya
dibesarkan oleh luka,
ia tak lagi menaruh percaya
apatis luar biasa,
ia skeptis dibuatnya

dua tahun berlalu, ia masih setia dengan kekosongannya
banyak rekannya bertanya keheranan
hausnya tak hilang, namun ia tak dijemput kematian
mengapa ia tak segera memilih berbagai jenis minuman?
segalanya ada, segalanya tersedia, untuk diminum olehnya

hari ini, ia membersikan cangkirnya
ada sarang laba-laba di dalam rupanya
ia terkejut, kemudian tertawa
hari ini, ia sudah berwarna
ia menyiapkan cangkir untuk minumannya

hari ini, ia membuka pintu kulkasnya
segala minuman baik langsung menyerbunya
tak peduli di cangkirnya masih ada noda
minuman terbaik pasti bersedia mengisinya

hari ini, ia memastikan lukanya pulih sudah
agar kelak tidak merepotkan minuman pilihannya
cangkirnya tidak sempurna, namun juga tak ada luka
....
hari ini, ia memantaskan diri
ia akan memilih isi cangkirnya sendiri.


Jakarta sore itu,