June 27, 2013

Bahagia

Dari kursi kayu di sudut koridor, aku memandang adikku yang tengah berdesak-desakan mengantri di depan ruang multimedia sebuah Sekolah Menengah Kejuruan Penerbangan di Jakarta Selatan. Ia sedang mendaftar ulang. Masih terekam jelas di ingatanku, betapa gembiranya ia saat mengetahui dirinya lolos saringan masuk di sekolah tersebut. Aku sedang bekerja saat menerima kabar darinya sore itu. Ah, segera ku bereskan pekerjaanku dengan hati bahagia, agar bisa lekas pulang ke rumah.
"Besok temenin gue daftar ulang ya Kak" pintanya.
"Cium dulu!" candaku seperti biasa tiap kali menjawab permintaannya.
Pagi ini, aku begitu semangat melepaskan kehangatan kasur dan selimut tercinta. Bergegas mandi dan sarapan, lalu mengantar kesayanganku ini ke sekolah barunya.
Dan di sinilah aku. Duduk dengan keringat mengucur deras di pelipisku. Panas Jakarta sedang kurang bersahabat hari ini. Riuh suara para wali murid yang ikut mengantar anaknya daftar ulang. Wajah bahagia dan penuh bangga jelas terlihat di sana. Sama sepertiku. Duduk kepanasan dan berkeringat begini masih tidak mampu melunturkan rasa bangga pada adik lelaki bertubuh besar yang berdiri di sana. Aku terus memandangnya dari kejauhan, sementara pikiranku kembali melayang pada hari dimana aku, adikku dan orangtua kami terlibat pembicaraan serius tentang ini.
Orangtua kami kurang setuju dengan keinginan adikku melanjutkan pendidikan ke SMK, dan mengarahkan adikku untuk memilih SMA. Alasannya jelas, karena selulusnya adikku dari sekolah menengah atas, ia diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke dunia perkuliahan, bukan langsung bekerja. Namun adikku, yang sama sepertiku, begitu mengidolakan sosok Bacharuddin Jusuf Habibie, ingin melanjutkan pendidikan di SMK Penerbangan. Belum lagi, cita-citanya yang ingin menjadi pilot semakin membulatkan keinginannya.
“Gue mau jadi pilot, kak. Lulus dari SMK Penerbangan kan gue bisa lanjut sekolah pilot. Kalaupun akhirnya nggak bisa jadi pilot karena mata gue minus, minimal gue yang bikin pesawatnya, kayak pak Habibie,” begitu selalu ia menjelaskan padaku.
Maka, aku menjadi orang pertama yang menyetujui keputusannya untuk mendaftar di SMK Penerbangan. Ia gembira. Aku pun.
Aku hanya tak ingin ia menempuh pendidikan yang tidak sesuai keinginannya. Aku hanya tak ingin jagoanku ini belajar dengan terpaksa. Aku hanya tak ingin melihatnya tersiksa dengan segala kerumitan yang muncul bukan atas pilihannya. Aku hanya tak ingin hidupnya disetir oleh rasa takut pada orangtua.…sepertiku, dulu.
Ah, sudahlah.
Akhirnya, Sabtu pagi yang lalu, aku dan adikku sengaja mengajak orangtua kami ikut ke kedai kopi 24 jam yang memiliki jaringan Wi-Fi untuk melihat detik-detik adikku mendaftarkan diri ke tiga sekolah pilihan secara online. Saat itulah aku meyakinkan orangtuaku untuk menyetujui dan mendukung pilihan adikku. Aku bahkan berani menjamin mereka untuk tidak mengkhawatirkan perkara biaya.
“Makasih, kak” ujarnya diam-diam saat semua selesai dan sesuai rencana.
Aku bahagia luar biasa.
Hari ini, banyak doa yang ku rapal dalam diam…
Semoga Tuhan memeluk segala doa-doa dan harapan tanpa dibuat sia-sia. Semoga Tuhan menerima amin dari seluruh penjuru semesta. Semoga bahagia kami kemaren dan hari ini, akan dibuat-Nya berlipat ganda di hari kemudian.


Terima kasih. Segala puji bagi-Mu, Sang Maha.