September 22, 2012

Hadiah Termewah

“Hhhh….” helaan nafas seorang wanita yang menyandarkan tubuhnya di sofa. Sore itu, cahaya senja menembus jendela sebuah kedai kopi berdesain klasik dengan gaya khas Amerika.
Hampir lima jam ia duduk di sana, sendirian. Seluruh pelayan hingga petugas parkir kedai kopi yang terletak di Barat kota Jakarta itu sudah mengenal baik tamu langganannya ini. Mereka hapal betul kebiasaan wanita 21 tahun yang tidak pernah absen datang—walau hanya sekali—dalam seminggu. Wanita berpenampilan simpel dan sedikit cuek itu menyeruput Green Tea Frappe, setelah melahap Red Velvet Cupcake dan segelas Hazzelnut Latte—seperti biasa. Ia mengelap kacamata minus-cylinder miliknya dengan kain khusus, lalu kembali menegakkan tubuh setelah kacamata itu memagari indera penglihatan di wajahnya. Lekat-lekat ia tatap layar komputer jinjing di hadapannya. Di sana terpampang jelas barisan kata yang menyusun sebuah cerita. Perlahan, ia membacanya. Perlahan, ia menghidupkan kembali ingatannya....
* * *
 “Terimakasih, Pak” ucapku sambil tersenyum pada seorang petugas keamanan yang membukakanku pintu keluar.
“Iya, silakan. Terimakasih kembali” jawabnya ramah.
Aku berjalan gontai menuju taksi yang tadi mengantarku ke sini. Karena enggan mencari taksi lagi, aku sengaja memintanya menunggu dengan argo yang tetap dinyalakan.
“Pak, tolong antar saya ke Kebon Jeruk,” pintaku pada pengemudi.
Taksi mulai merayap dan membaur dalam kemacetan kota, seiring dengan angan dan harapanku yang melebur diserap senja.
Iya. Ini perkara mewujudkan angan dan harapan. Aku berangan-angan membeli sebuah kendaraan impian dengan uang hasil keringatku sendiri. Bahkan sedari empat tahun lalu, aku membuka rekening tabungan yang setiap bulannya tak pernah lupa ku isi sehabis menerima gaji. Namun jumlah tabungan rupanya baru menembus setengah harga saja.
Beberapa hari lalu sudah kuceritakan tentang ini kepada ayah, ibu, dan adikku. Singkat cerita, mereka menyimpulkan bahwa aku masih memiliki dua kemungkinan. Meminjam sejumlah uang di bank, atau membeli kendaraan dengan prosedur kredit (DP di awal + cicilan tiap bulan). Tetapi mereka tidak lupa mengingatkanku untuk berpikir matang-matang sebelum mengambil keputusan. Aku bisa saja bersabar hingga beberapa tahun ke depan sampai jumlah tabunganku cukup untuk membeli mobil idaman. Tetapi bukankah pertambahan jumlah tabunganku beberapa tahun ke depan, berbanding lurus dengan perubahan harga kendaraan dan ketersediaan jenis/tipenya? Lagipula, aku sudah mengkalkulasi perkiraan pengeluaran antara jika-aku-sudah-memiliki-kendaraan-pribadi, dengan saat-aku-belum-memiliki-kendaraan-pribadi. Hasilnya sedikit mengejutkan, sebab ku pikir pengeluaranku akan jauh lebih besar ketimbang sekarang. Rupanya dugaanku meleset. Inilah mengapa tekadku semakin bulat untuk segera memarkir kereta roda empat di halaman rumah.

Bukankah hidup memang tentang memperjuangkan sesuatu yang layak? , batinku.
Maka disinilah aku sekarang. Terduduk lunglai di dalam taksi yang tadi mengantarku ke sebuah bank. Setelah melalui prosedur yang rumit dan cukup lama, tibalah namaku dipanggil oleh petugas bank. Sayang, pihak bank rupanya menolak pengajuanku karena sebuah alasan. Masa kerjaku di kantor belum memenuhi syarat yang mereka tentukan—yaitu tidak kurang dari dua tahun, sementara saat itu aku belum genap setahun.
“Capek, Ka? Udah makan?” kalimat pertama dari ibu, setelah beliau menjawab salamku setiba di rumah. Aku menyandarkan tubuh di kursi ruang tengah sambil menunggu ibu menyiapkan makan malamku.
“Gimana, Ka?” tanya Ayah dan adikku yang tiba-tiba muncul dari dapur. Mungkin mereka baru selesai makan malam, pikirku.
“Ayah, Kakak mutusin buat batalin rencana beli mobilnya. Hehehehe. Kakak tunda aja sampai beberapa tahun ke depan. Gak apa-apa kok, hehehe. Soalnya kalau sekarang, kayaknya terlalu maksa, mungkin Tuhan gak suka,” jawabku sambil mencoba terlihat biasa saja di depan mereka—namun gagal.
Sehari, dua hari, tiga hari berlalu, aku masih—setidaknya, berusaha—biasa saja. Hingga suatu sore di hari Sabtu, ibuku masuk ke kamar dan memaksaku mandi. Maklum saja, aku mengharamkan mandi di hari libur. Maksudku, ah....ayolah! Kalian semua juga melakukan hal sama, kan?
Susah payah menolak, tetapi ibu semakin galak. Rupanya ibu meminta memaksa aku ikut dengannya. Entah ke mana, aku tidak tertarik untuk tahu.
“Stop sini, Pak!” ibuku berkata tiba-tiba pada pengemudi taksi.
Aku yang sedari tadi mencoba tidur sepanjang perjalanan, kini mengerjap-ngerjap mencari kesadaran. Ada jeda beberapa detik begitu aku menangkap keberadaan kami. Mungkin karena nyawaku belum menyatu seluruhnya, atau aku yang kelewat depresi tentang si kereta roda empat idaman, sehingga aku merasa sedang berada di…. Ah, sudahlah!
“Loh, Bu. Kita mau ngapain kesini?” tanyaku setelah kami turun dari taksi.
“Lahaciaaaa~” jawab ibuku asal.
“Udah, jangan bawel!” tambah adikku seraya menarik tanganku agar mengikuti mereka ke dalam sebuah gedung perkantoran yang terletak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Wajahku masih mengekspresikan ‘apa-apan-sih-ini’ sedari tadi. Namun belum sedikit pun terjawab, seorang sales counter mendatangi kami. Semakin dipenuhi pertanyaan dan rasa kesal karena tidak juga mendapat jawaban, aku merengut minta dijelaskan. Hingga malam hari sepulangnya kami dari—well, tempat absurd sore tadi, ayah menyambut kami.
“Gimana?” tanya beliau penasaran, namun wajahnya geli menahan senyuman.
“Ayah….ini serius?” tanyaku menuntut penjelasan.
“Ya iyalah. Ibu sudah bayar kan tadi?” kata ayah, retorik.
“Setengahnya,” jawab ibuku santai. “Setengah lagi, urusan kakak” beliau melanjutkan sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Malam itu, akhirnya ayah menjelaskan behind the scene dari kejadian hari ini. Sementara aku mendengarkan dengan seksama dan masih tidak percaya.
Rupanya ayah dan ibu sepakat menggabungkan uang mereka hingga mencapai setengah dari total harga mobil impianku. Mereka mencari info ke sana- ke sini mengenai spesifikasi mobil, harga mobil, dan perintilan-nya tanpa sepengetahuanku. Begitu info yang mereka dapatkan sudah lengkap, barulah mereka beraksi ke tahap berikutnya, yaitu mengajakku ke showroom Mazda Thamrin dan langsung membayar tanda jadi terhitung separuh harga mobil yang telah disepakati. Setengahnya lagi? Mereka sengaja menyerahkannya padaku.
*aku butuh beberapa menit untuk mencerna semua itu*
Terus terang, aku sempat menolak begitu tahu bahwa mereka campur tangan perihal permbayaran. Bukan apa-apa, aku hanya tidak terbiasa dihadiahkan sesuatu—heeeey, apalagi ini sebuah mobil—oleh ayah ibuku. Terpikir pun tidak. Kami bukan keluarga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata. Kami keluarga biasa, namun bersahaja. Orangtuaku mendidik kedua anaknya—aku dan adikku—untuk hidup sederhana, tahu batas dan bekerja keras. Terbukti, kami bukan anak manja yang suka merengek minta dibelikan sesuatu oleh orangtua. Aku sudah terlatih menahan ego kekanak-kanakanku dan terbiasa menabung sedikit demi sedikit untuk mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Ajaran itu berlanjut sedari kecil hingga aku dewasa, sehingga wajar bagiku jika kini aku menolak saat ayah dan ibu membayar setengah harga mobil yang aku idamkan.
Dari kecil Kakak gak pernah minta macem-macem sama Ayah, Ibu. Kakak selalu nurutin kata Ayah. Padahal temen-temen Ayah sering cerita, anaknya susah diatur, banyak minta beliin ini-itu. Makanya Ayah bersyukur banget sama Tuhan, dikasih anak kayak Kakak. Jadi anggap saja ini hadiah buat seorang anak yang selama 21 tahun bertahan dalam kesederhanaan, gak pernah menuntut dan selalu bersyukur bagaimana pun keadaan keluarga….
Begitulah kalimat penjelasan ayah yang aku ingat, selebihnya tidak mampu kudengar lagi karena aku tengah disibukkan oleh genangan air mata yang berusaha kutahan.
Aku mensyukuri semua ini sebagai berkah dari Tuhan. Dalam hati, aku berjanji untuk mengganti setengah harga mobil yang mereka bayarkan, begitu selesainya aku melunasi cicilan. Walau aku paham, seluruh pengorbanan orangtua tidak akan terbalaskan. Mungkin bagi sebagian anak seusiaku, ini tak lebih dari omong kosong yang tidak sepatutnya aku banggakan. Mungkin banyak dari kalian yang bisa dengan mudah meminta dibelikan mobil oleh orangtua. Mungkin beberapa dari kalian juga dengan mudahnya gonta-ganti kendaraan tanpa kendala berat. Bahkan mungkin banyak dari kalian yang tertawa begitu membaca ceritaku ini. Tidak apa. :’)
Sebab bagiku, ini istimewa. Bukan tentang mobil mewah yang aku impikan. Namun tentang betapa baik dan kerennya Tuhan karena memberiku keluarga yang luar biasa. Bodohnya aku, baru menyadari bahwa hadiah termewah bukanlah barang seharga sekian rupiah. Kali ini, aku paham mata kuliah  yang diajarkan Tuhan. Pertama, selalu ada berkah untuk manusia yang berusaha. Kedua, bersyukur adalah cara manusia memetik berkah-Nya.
Pada akhirnya, berada di tengah keluarga—ayah, ibu dan adikku, adalah sebenar-benarnya hadiah termewah yang aku punya. Keluarga adalah berkah melimpah, harta paling indah.
* * *
Pupil mata wanita itu kian melebar, wajahnya penuh haru dan berbinar. Wanita itu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa empuk, tempatnya biasa duduk. Ia menoleh ke jendela di dekatnya. Matanya terpaku pada sebuah sedan buntung yang terparkir di luar sana. Mobil keluaran Jepang dengan warna putih dingin itu seolah membalas tatapannya. Seulas senyum tersungging di wajah mereka.
Senja mulai tampak saat wanita itu mengalihkan pandangannya ke layar komputer jinjing di meja. Segera ia menekan Enter dengan mantap, hingga ketikan—yang tadi dibaca—nya kini terpampang jelas di blog pribadinya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Kali ini, senyumnya nampak berbeda. Cerita miliknya baru saja ia ikut sertakan dalam Blogging Quiz Mazda IIMS 2012. Wanita itu paham, bahwa Tuhan selalu punya kejutan. Hanya saja, kejutan itu dapat berupa hadiah atau musibah. Semua tak ada yang tanpa tujuan.
Lagi-lagi aku mencintai cara Tuhanku bercanda, batin wanita itu. Aku.