April 21, 2011

Per-sahabat-an

Beberapa orang mengatakan bahwa sahabat bukanlah mereka yang paling lama mengenal kita, melainkan mereka yang selalu ada disaat kita jatuh dan berduka. Beberapa yang lain berpendapat bahwa kita tidak bisa menyebut mereka sahabat jika mereka belum mengenal kita luar dalam dan begitu sebaliknya, karena pada umumnya untuk mengenal karakter seseorang hingga fasih luar dalam memang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Bagaimana menurut kalian?
            Wo woo, okay, take it easy. Saya tidak mengharuskan kalian untuk langsung menjawab pertanyaan barusan kok, karena itu memang bukan pertanyaan penting yang menentukan kalian masuk surga atau neraka, juga bukan pertanyaan terakhir untuk menentukan wasiat jatuh ke tangan siapa karena dokter sudah memvonis usia kalian kurang dari dua puluh empat jam dari sekarang. -^;*&”%!@</,$(+#=]\>????!!!!....

     Oke sorry, saya lapar sekali sehingga imajinasi berkembang tanpa permisi diluar pengendalian saya(<----ini alibi)
     Back to the topic, tentang seseorang disebut sahabat, tentu kita punya range penilaian masing-masing. Karena ini bukan ilmu pasti yang cara-caranya serba ditentukan rumus, seperti matematika atau fisika—yawn yawn yawn yawn yawn yawn(bold italic underline)— dan lain sebagainya. Ini tentang bagaimana suatu interaksi dari sekedar kenal, kemudian kita menjadi sering bertemu(misalnya teman kosan, teman sekolah-kampus, teman kantor) dan otak kita secara otomatis mulai mencerna lalu memilah dengan siapa kita lebih cocok dan sepemikiran. Dari otak, kita mulai melakukan segala sesuatu yang kita hubungkan dengan kenyamanan, disinilah ‘perasaan’ menjalankan tugasnya.

     Okay, saya mulai pusing dengan bahasa kimiawi yang saya terangkan di atas. Itu berarti saya memang tidak cocok bersahabat dengan bahasa kimiawi tersebut. #abaikan
     Maaf saya mulai melantur lagi. Well, seriously dude, tentang ‘apa itu persahabatan’ bagi saya, dan bagaimana saya bisa melabelkan seseorang itu sahabat saya atau bukan, berikut analisa(apa deh ini bahasa gw….analisa….ngookk!) dari pemikiran—dongo— saya.
     Hmm, mulai dari dua sosok sahabat—sakit jiwa— saya semasa SMP. Namanya Anggi dan Tikuy. Kami satu TK-SD-SMP bahkan satu kawasan tempat tinggal—bahasa g4hO3Lnya satu kompleks perumahan-- juga. Saya terpisah dari mereka ketika kami memasuki masa SMA. Anggi dan Tikuy satu sekolah, sementara saya di sekolah lain yang lokasinya masih di Jakarta tetapi sangat jauh dari kawasan tempat tinggal kami. Semakin parah ketika mulai ke perguruan tinggi, karena saya mengambil kuliah jurusan Teknik Elektro Komunikasi di Institut Teknologi yang ada di Bandung. Sementara Tikuy kuliah jurusan Broadcasting di Universitas yang kawasannya masih dekat tempat tinggal kami, sedangkan Anggi memilih bekerja.
     Kalau ditanya masalah “Lost Contact”, tentu kami mengalami, terutama saya. Saya pernah lost contact dengan mereka dalam kurun waktu satu-dua tahun. Yo dudes, funny how when you see someone you haven’t seen in years come together and just click again. That’s what happened with us. Ketika saya begitu lama tidak ada kontak dengan mereka, and they or me just say Hi, and then janjian ketemuan. Dan saat ketemuan, CLICK! Tidak ada canggung atau wordless selayaknya orang yang sudah lama tidak bertemu, kami malah heboh ketawa-ketiwi seperti bertemu setiap hari. Beruntungnya sampai sekarang kami belum(jangan sampai) lost contact lagi. Dalam sehari kami selalu ada kontak—BBM dan twitter— yang memang harus saya akui, isinya hanyalah guyonan konyol, usil, terkadang tidak bermutu, mengganggu dan tak jarang kami saling menghina satu sama lain. Oke, untuk bagian ini saya jelaskan, persahabatan kami memang sangat aneh, karena hobi kami adalah saling menghina satu sama lain. But just trust me, it’s only words, not the truth of heart.
     Dari apa yang saya sampaikan di atas, pernyataan bahwa “kita tidak bisa menyebut mereka sahabat jika mereka belum mengenal kita luar-dalam dan begitu sebaliknya, karena pada umumnya untuk mengenal karakter seseorang hingga fasih luar-dalam memang membutuhkan waktu yang tidak singkat,” mungkin bisa dikatakan saya SETUJU.
     Tapi, belum tentu itu adalah satu-satunya pernyataan yang BENAR tentang persahabatan.
     Q : W H Y ?
     Karena ada yang bernama Hepzha dan Shasa. Saya mengenal keduanya memang tidak sampai belasan tahun seperti saya mengenal Anggi dan Tika. Saya mengenal mereka ketika saya mulai kuliah di Bandung. Hepzha adalah teman kosan—pelissss banget deh kamar aja sebelahan,zzzz— sementara Shasa teman sekampus-sejurusan-sekelas-sekelompok-sepemikiran-senasib(khusus bagian ini hanya saat ujian) saya. So, kebayang kan itensitas(ya tuhan ini apa lagi bahasa gueeeee) pertemuan kami? Ya, setiap hari. Bosan? Hahahahahahahahahaa….iya. -_-
Tetapi mereka lah salah satu alasan saya masih—sedikit, sangat sedikit—merasa nyaman kuliah di kampus(*no comment*) dan jurusan(*lebih no comment*) ini.
     Lebay? Tidak. Kenapa? Karena :
  • Kuliah di fakultas Teknik adalah pilihan yang tepat jika kalian mau kehilangan masa muda, terlebih lagi jika jurusannya adalah Teknik Elektro Komunikasi. SURAM.
  • Hidup kalian terasa lebih—sangat amat super duper extra— berat ketita kalian melakukan sesuatu dengan terpaksa dan itu bukanlah hal yang kalian minati. Tepat! Saya kurang—sama sekali tidak—tertarik pada jurusan kuliah saya. Saya lebih tertarik bidang Fashion/Sastra/Public Relation. Bahkan saya lebih tertarik bidang Lawak dari pada Teknik.
  • Lokasi kampus saya berada di Bandung. Ya, Bandung, udara segar, kota kembang, penuh hiburan, kota menyenangkan, tujuan wisata dan banyak kuliner. Menyenangkankah? TIDAK. Karena lokasi kampus saya MEWAH(re:mepet sawah), kawasan pabrik, kawasan langganan banjir, kawasan pemukiman penduduk, kawasan gersang kering panas berdebu dan BUKAN kawasan kota ataupun desa di Bandung.(wanna go to hell?)
  • Institut tempat saya kuliah adalah salah satu perguruan tinggi ternama dan berkualitas di Indonesia bahkan Asia. Maka saya tidak bisa menyalahkan kampus saya jika mereka hanya menerima siswa-siswa terpelajar dan berotak jenius dari hasil penyeleksian saat tes masuk serta menerapkan disiplin ekstra ketat selama masa perkuliahan. Jadi, salah siapa?
Bisa kalian bayangkan keempat hal di atas? Kuliah di jurusan Teknik, kampus unggulan, teman sesama mahasiswa yang jenius, lokasi tak terdefinisi(bukan kota, bukan desa) serta aturan monoton untuk memakai seragam selama kuliah dengan kedisiplinan tingkat dewa adalah alasan yang lebih dari cukup jika suatu hari kalian menemukan saya menderita SAKIT JIWA AKUT.
Sekali lagi, ini tidak berlebihan.
Oke, kembali ke topik. Satu-satunya hal yang menolong saya selama kuliah di kampus tersebut hanyalah “Teman Sepemikiran”(re:sama-sama gila). Dan Hepzha serta Shasa lah orangnya. Sebetulnya masih ada beberapa “Teman Sepemikiran” saya di kampus, seperti Indah, Bapit, Andien, Uli, Echa, Denna, Ghea, Cuni, ka Nana, Oyoy, Ncek, Gery, Doddy, Endo, Hafiz, Septi, bang Raja, Coky, ka Ziezie, Latif, dan masih banyak lagi orang gila....hmm, maksud saya, masih banyak lagi “Teman Sepemikiran” lainnya. Hanya saja, Hepzha dan Shasa lebih dekat dengan saya.
Hal tersebut di atas menggambarkan pernyataan bahwa “sahabat bukanlah mereka yang paling lama mengenal kita, melainkan mereka yang selalu ada disaat kita jatuh dan berduka.” Dan saya SETUJU.
Ya, saya setuju dengan kedua pernyataan yang saya bandingkan di awal.
Q : Lalu pernyataan manakah yang menjelaskan makna persahabatan?
A : Keduanya, mungkin.
Q : Kenapa, bukankah harus salah satu?
A : Karena persahabatan tidak membutuhkan rangkaian kata-kata untuk menjabarkannya. Dan tidak ada peraturan untuk memilih salah satu.
Q : Lalu?
A : Hati….dan pola pikir.
Q : Maksudnya?
A : Rasakanlah dengan hati, kajilah dengan pikiran, siapa yang pantas kamu sebut sahabat. Kamu akan tahu jawabannya.


Lotta kiss!
Febie

No comments: