Saya sedang memejam ketika kepala saya
terlintas kerinduan berbagi cerita di blog ini. Segera saya membuka komputer
jinjing tua yang saya dapatkan sebagai hadiah dari ayah ketika saya berhasil
lolos ujian saringan masuk universitas yang ayah saya inginkan. Iya, tempat
kuliah yang bukan saya inginkan. Ah, sudahlah. Terima kasih ayah, laptop ini
berguna.
Sedari setengah jam lalu saya sedang
mencoba untuk tidur kembali namun gagal. Ini bukan lantaran saya terlalu
kenyang melahap waktu dengan tertidur, sebab jelas-jelas saya baru terlelap
kurang dari satu jam. Ini perkara semangat yang mendadak muncul untuk berbagi
cerita dari kejadian yang baru saja saya alami. Terlebih saya baru menyadari,
belum ada postingan tentang ayah sebelum ini. Belum lagi waktu saya yang
senggang sebab tidak ada jadwal meeting hari ini. Maka mulailah jemari saya
kembali menari di lantai dansanya sendiri.
Baru tertidur sehabis subuh tadi, saya
dibangunkan Rizky (adik saya) yang memberitahu bahwa ayah baru saja menghubungi.
Dengan sedikit takut karena tahu saya baru saja pulas, dia meminta saya bangun
untuk segera mengantarkan kacamata ayah yang ada di rumah. Kebetulan ayah kami
sedang dinas ke kawasan Gunung Sahari, Jakarta Utara.
Mendengar itu, saya sontak bangun dan
langsung menghidupkan mesin mobil. Tak lebih dari lima menit, kami (saya dan Rizky)
sudah meluncur untuk mengantarkan kacamata ayah. Baru kali ini saya mensyukuri
kemacetan, sebab saya bisa menyetir sambil mengumpulkan nyawa-nyawa yang
rasanya tertinggal di tempat tidur. Di jalan menuju kantor ayah, saya
menanyakan soal kacamata ayah pada Rizky. Entah bagaimana, rupanya kacamata
ayah terjatuh di jalan ketika beliau dalam perjalan menuju kantor tadi.
Sesampainya di kantor, beliau segera menghubungi saya. Namun seperti biasa,
saya tak pernah lupa mematikan ponsel sebelum tidur. Maka jadilah adik saya
yang juga baru memejam sehabis subuh, terbangun oleh dering panggilan masuk
dari ayah.
Saya terbayang bagaimana ayah berkendara hingga
ke kantor dengan pandangan kabur. Oh ya, ayah saya adalah pengendara motor. Pasti
mata beliau memerah karena menahan perih asap kendaraan dan polusi di jalan.
Pasti tubuh beliau lebih lelah karena konsentrasi dan waspada yang berkali-kali
lipat dengan mata kaburnya. Bagaimana kalau beliau tidak melihat ada lubang di
jalan? Bagaimana kalau beliau tidak melihat ada kendaraan lain yang mengarah
padanya dengan kecepatan tinggi? Ah, cepat-cepat saya membuyarkan lamunan hasil
kekhawatiran yang saya timbulkan sendiri.
Ayah bisa
menghubungi Rizky sudah berarti beliau baik-baik saja, saya membatin.
Kebon Jeruk – Tanjung Duren – Roxy –
Gajah Mada – Hayam Wuruk – Gunung Sahari, begitu rutenya. Warga Jakarta tentu
tahu, itu jalur macet luar binasa. Singkatnya, sampailah kami di depan kantor
ayah. Lima menit menunggu, ayah menghampiri saya dan Rizky dengan wajah ceria
dan tak lupa berterima kasih pada kami. Sungguh, saya tidak membual, sungguh,
lelah saya lenyap seketika. Entah reaksi kimia macam apa, mengingat kondisi
saya yang sedang fakir tidur dan datang bulan hari pertama, kemudian menembus
kemacetan Jakarta dengan perut keroncongan yang meronta, mendadak sirna begitu
melihat wajah beliau yang sumringah. Beliau bercerita perihal kacamatanya. Saya
memperhatikan ayah, hingga tiba-tiba sekeliling saya bergerak melambat, waktu
berdetak pelan. Saya melihat ayah, dengan rambut yang tidak hitam lagi, tubuh
yang tidak setegap dulu lagi, dan keriput-keriput yang semakin jelas terlihat.
Ayah yang dulu gemar menggendong saya di
pundaknya sambil lari berkeliling di Taman Monas, kini menepuk pundak saya
untuk berterima kasih karena sudah mengantarkan kacamatanya. Ayah yang dulu
hobi memboncengi saya berkeliling Jakarta dengan Vespanya, kini meminta tolong
saya untuk menembus kemacetan dari Jakarta Barat ke Jakarta Utara. Ayah yang
dulu sangat keras mendidik saya, kini sedang tertawa dengan keriput di wajah
dan rambut ubannya.
Oh Febie,
lihat ayahmu! Time flies so fast! Saya meringis dalam hati. Seketika saya merasa
begitu takut. Saya takut kehilangan ayah. Saya takut beliau pergi sebelum saya
benar-benar bisa membahagiakannya. Saya takut beliau pergi sebelum anak wanita
satu-satunya ini membawa pria untuk meminta restunya. Saya takut bukan ayah
yang menjabat tangan pria pilihan saya saat ijab---yang entah kapan. Saya diserang
rasa takut yang terlalu mendadak. Beruntung, kacamata hitam di wajah menutupi
air yang menggenangi mata saya. Ayah kembali melanjutkan rapat yang sedang
berlangsung di kantornya, sementara saya dan Rizky kembali berkubang di
kemacetan Jakarta.
Ya Tuhan,
kalau ayah minta gunung dan gunung bisa dipindahkan, pasti saya bawakan untuk
ayah, dalam
hati saya curhat ke Tuhan.
Pagi ini, saya bersyukur telah diberikan
rasa kerepotan yang membahagiakan.
Saya bersyukur masih memiliki ayah yang wajah cerianya menjadi obat lelah dan
nyeri haid hari pertama. Saya bersyukur ayah meminta tolong pada saya, artinya
beliau mengandalkan saya. Saya bersyukur ayah masih ada, masih bersama saya dan
keluarga. Saya bersyukur karena Tuhan begitu baik pada saya dengan menyuruh
malaikat-malaikat-Nya menjaga ayah saya sepanjang perjalanannya yang tanpa
kacamata. Saya bersyukur untuk hal-hal sederhana.
Pagi ini, dengan wajah serupa zombi, saya
belajar lagi. Bahwa tiap-tiap kejadian akan menjadi cerita yang berbeda dengan
sudut pandang yang dipilih oleh pelakunya. Seperti cerita saya di atas,
misalnya. Bisa saja saya memilih untuk melanjutkan tidur, atau tetap
mengantarkan kacamata untuk ayah namun dengan wajah cemberut dan hati yang kesal.
Atau bisa juga saya menyetir ugal-ugalan untuk mengantarkan kacamata ayah dan
kembali ugal-ugalan agar cepat sampai rumah. Oh, atau bisa juga saya menggerutu
dan mengeluh sepanjang Kebon Jeruk – Gunung Sahari – Kebon Jeruk sampai mulut
berbusa. Bisa. Mungkin bisa. Namun saya memilih untuk mensyukurinya. Karena
dengan ikhlas, maka semua akan baik-baik saja. Terima kasih Tuhan, atas rasa kerepotan yang membahagiakan.
Selamat pagi, selamat memejam kembali.
-FA
4 comments:
anak yang baik :D
Untold story
Vespa! Berkeliling jakarta....
;)
Wihh...!!! ArtikeL'nya Bagus banget Feb...
I like it...^_^
Post a Comment