Suatu senja di hari Selasa. Wanita dua puluh satu tahun
sedang membasuh air ke wajahnya. Tiga kali. Kemudian tangan, mercu kepala,
telinga hingga kaki. Ia berwudhu rupanya. Disegerakannya memakai mukenah, lalu
duduk di sajadah. Punggung lelahnya disandarkan pada dinding kamar yang baru
lebih setahun dihuninya bersama suami.
"Subhanallah… walhamdulillah…wala ilaha
illallah…wallahu akbar…"
Bibirnya memuja-muja Tuhan. Suara lembutnya menyejukkan.
Pelan serupa bisikan. Matanya memejam, menghayati kalimat suci dalam-dalam.
Tangannya mengusap lembut bagian perut. Tampak usia kandungan yang tak lagi
muda.
"Subhanallah…
walhamdulillah…wala ilaha illallah…wallahu akbar…"
Wajah cantik alaminya memancar tanpa polesan bedak dan
riasan. Ia hanya mendandani diri dengan air wudhu lebih dari lima kali dalam
sehari. Di luar sana, langit
oranye kian memerah. Pertanda maghrib segera tiba. Ia masih di tempat yang
sama. Melantunkan kalimat suci sembari mengusap perutnya. Di luar sana, para muazin di seluruh dunia tengah
bersiap mengumandangkan azan.
"Allahuakbar..
Allahuakbar.."
Bersahut-sahutan.
Bumi mengingatkan. Memeriahkan semesta dengan seruan. Pergantian siang ke
malam. Seorang wanita mulai kesakitan. Pecah ketuban.
Tak ada
tanda-tanda sepanjang siang. Seperti hari biasa, sakit perut pun tidak.
Sekarang ia kebingungan. Sebagian tubuhnya sudah basah oleh ketuban. Keringat
dan air mata bercucuran. Sakit luar biasa tengah ia rasakan.
Seorang pria berperawakan kurus dan berkulit cokelat gelap
berlari ke dalam rumah. Mulanya ia sedang memandang langit, bershalawat sembari
menunggu maghrib. Begitu mendengar azan, ia bergegas ke masjid. Namun tiba-tiba
saja keningnya mengernyit. Secepat cahaya, ia kembali masuk ke dalam rumah.
Menghampiri istrinya.
Belum sempat menunaikan Magrib, keduanya terpaksa
menyegerakan ke rumah sakit. Istri sekuat tenaga menahan sakit. Suami tak mampu
menyembunyikan panik. Inilah kali pertama keduanya berhadapan langsung dengan
ambang hidup mati.
Begitu istrinya ditangani dokter serta beberapa suster, ia
berlari mencari tempat suci. Napasnya tersenggal, jantungnya berdegup kencang.
Ditunaikannya maghrib dengan sederetan sunah, seperti biasa. Seusainya salat,
tangannya diangkat. Telapaknya basah, gemetar tak karuan. Kali ini, air matanya
pecah. Hanya kepada Tuhan, ia menumpahkan kegelisahannya. Sebab untuk istrinya,
ia ingin menjadi luar biasa. Takkan dibiarkannya wanita itu tahu
lelah-lelahnya. Takkan dibiarkannya wanita itu kelaparan, walaupun ia sama
sekali belum makan. Maka pada pergantian siang ke malam, ia memanjat pohon
doanya.
Beberapa orang memasuki musala ketika pria itu bangkit dari
sajadahnya. Mereka menunggu isya rupanya. Setelah bersapaan, ia permisi keluar.
Langkahnya tergesa-gesa, ia tak mau membiarkan istrinya sendirian saat bertaruh
nyawa. Di ruang petak serba putih itu, seluruh momentum sekarat disaksikannya
dari dekat. Detik jarum jam dan segalanya bergerak lambat. Lekat-lekat, ia
menaruh harap.
Bayi merah yang gendut luar biasa. Berambut halus dan tertidur nyenyak hanya jika perutnya kenyang. Bayi merah gendut yang hari ini berusia 22. Bayi merah gendut yang menolak lupa pada segala perjuangan orangtuanya. Bayi merah gendut yang menjadikan kebahagiaan keluarga sebagai napasnya. Bayi merah gendut yang murka jika mendapati orangtuanya dibuat luka. Bayi merah gendut yang berdoa untuk dipanjangkan usianya agar bisa menjaga senyum tetap merekah di wajah orangtuanya. Bayi merah gendut yang sedang susah payah menahan tangis saat mengetik cerita di sembilan belas Februarinya. Bayi merah gendut yang mencintai ibu dan ayahnya dengan kesederhanaan yang megah.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Sedari azan maghrib hingga isya, seorang wanita menahan sakit
luar biasa.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Ada sajadah yang basah oleh ketuban. Ada sajadah yang menadah
segala harapan. Sajadah meng-amin-kan.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Seorang wanita berdiri di ambang kematian. Atas nama azan yang
memeriahkan semesta, ia takkan menyerah pada rasa sakitnya.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Seorang pria tak lagi mampu membendung air matanya. Tak peduli
seberapa lelah, ia selalu siap melawan ketakutannya.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Ada ketuban pecah saat maghrib datang. Ada bayi merah yang
diantar Jibril ke dunia.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Azan isya dan tangis bayi merah saling bersahutan. Pertanda
kehidupan dan sepaket kebahagiaan.
Selasa, sembilan belas
Februari silam. Sepasang suami istri tengah naik tahta sebagai orang tua. Ibu
dan ayah.
Bayi merah yang gendut luar biasa. Berambut halus dan tertidur nyenyak hanya jika perutnya kenyang. Bayi merah gendut yang hari ini berusia 22. Bayi merah gendut yang menolak lupa pada segala perjuangan orangtuanya. Bayi merah gendut yang menjadikan kebahagiaan keluarga sebagai napasnya. Bayi merah gendut yang murka jika mendapati orangtuanya dibuat luka. Bayi merah gendut yang berdoa untuk dipanjangkan usianya agar bisa menjaga senyum tetap merekah di wajah orangtuanya. Bayi merah gendut yang sedang susah payah menahan tangis saat mengetik cerita di sembilan belas Februarinya. Bayi merah gendut yang mencintai ibu dan ayahnya dengan kesederhanaan yang megah.
Di tempat terdekat,
2 comments:
Selamat bertambah dewasa 'Bayi merah gendut yang mencintai ibu
dan ayahnya dengan kesederhanaan
yang megah'. :')
-pria yang menolak lupa untuk menjadi penggemar tulisanmu sedari awal kenal dan jatuh hati karenanya-
*copas kata2 kamu dikit gpp lah ya mbak :p
Hai Bayi Gendut Merah yang cantik secantik diusia-nya yg telah menginjak 22 dan si bayi gendut merah yang membuat saya terjatuh karena-nya mungkin ini bisa dibilang jatuh hati.. whats ever lah, selamat hari lahir si bayi gendut merah tetaplah menjadi diri mu sendiri.
- I'm Athar -
Post a Comment