“Hhhh….”
helaan nafas seorang wanita yang menyandarkan tubuhnya di sofa. Sore itu, cahaya senja menembus jendela sebuah kedai kopi berdesain
klasik dengan gaya khas Amerika.
Hampir
lima jam ia duduk di sana, sendirian. Seluruh pelayan hingga petugas parkir kedai
kopi yang terletak di Barat kota Jakarta itu sudah mengenal baik tamu
langganannya ini. Mereka hapal betul kebiasaan wanita 21 tahun yang tidak
pernah absen datang—walau hanya sekali—dalam seminggu. Wanita berpenampilan
simpel dan sedikit cuek itu menyeruput Green Tea Frappe, setelah melahap Red
Velvet Cupcake dan segelas Hazzelnut Latte—seperti biasa. Ia mengelap kacamata minus-cylinder miliknya dengan kain
khusus, lalu kembali menegakkan tubuh setelah kacamata itu memagari indera
penglihatan di wajahnya. Lekat-lekat ia tatap layar komputer jinjing di
hadapannya. Di sana terpampang jelas barisan kata yang menyusun sebuah cerita. Perlahan, ia membacanya. Perlahan, ia menghidupkan kembali ingatannya....
*
* *
“Terimakasih, Pak” ucapku sambil tersenyum
pada seorang petugas keamanan yang membukakanku pintu keluar.
“Iya,
silakan. Terimakasih kembali” jawabnya ramah.
Aku
berjalan gontai menuju taksi yang tadi mengantarku ke sini. Karena enggan mencari
taksi lagi, aku sengaja memintanya menunggu dengan argo yang tetap dinyalakan.
“Pak,
tolong antar saya ke Kebon Jeruk,” pintaku pada pengemudi.
Taksi
mulai merayap dan membaur dalam kemacetan kota, seiring dengan angan dan harapanku yang melebur diserap senja.
Iya. Ini perkara mewujudkan angan dan harapan. Aku berangan-angan membeli sebuah kendaraan impian dengan uang hasil
keringatku sendiri. Bahkan sedari empat tahun lalu, aku membuka rekening
tabungan yang setiap bulannya tak pernah lupa ku isi sehabis menerima gaji. Namun jumlah tabungan rupanya baru menembus setengah harga saja.
Beberapa
hari lalu sudah kuceritakan tentang ini kepada ayah, ibu, dan adikku. Singkat
cerita, mereka menyimpulkan bahwa aku masih memiliki dua kemungkinan. Meminjam
sejumlah uang di bank, atau membeli kendaraan dengan prosedur kredit (DP di awal + cicilan tiap bulan). Tetapi
mereka tidak lupa mengingatkanku untuk berpikir matang-matang sebelum mengambil
keputusan. Aku bisa saja bersabar hingga beberapa tahun ke depan sampai jumlah tabunganku
cukup untuk membeli mobil idaman. Tetapi bukankah pertambahan jumlah tabunganku
beberapa tahun ke depan, berbanding lurus dengan perubahan harga kendaraan dan
ketersediaan jenis/tipenya? Lagipula, aku sudah mengkalkulasi perkiraan
pengeluaran antara jika-aku-sudah-memiliki-kendaraan-pribadi, dengan
saat-aku-belum-memiliki-kendaraan-pribadi. Hasilnya sedikit mengejutkan, sebab ku pikir pengeluaranku akan jauh lebih besar ketimbang sekarang. Rupanya
dugaanku meleset. Inilah mengapa tekadku semakin bulat untuk segera memarkir
kereta roda empat di halaman rumah.
Bukankah hidup memang tentang memperjuangkan sesuatu yang layak? , batinku.
Bukankah hidup memang tentang memperjuangkan sesuatu yang layak? , batinku.
Maka
disinilah aku sekarang. Terduduk lunglai di dalam taksi yang tadi mengantarku
ke sebuah bank. Setelah melalui prosedur yang rumit dan cukup lama, tibalah namaku
dipanggil oleh petugas bank. Sayang, pihak bank rupanya menolak pengajuanku
karena sebuah alasan. Masa kerjaku di kantor belum memenuhi syarat yang mereka
tentukan—yaitu tidak kurang dari dua tahun, sementara saat itu aku belum genap setahun.
“Capek,
Ka? Udah makan?” kalimat pertama dari ibu, setelah beliau menjawab salamku
setiba di rumah. Aku menyandarkan tubuh di kursi ruang tengah sambil
menunggu ibu menyiapkan makan malamku.
“Gimana,
Ka?” tanya Ayah dan adikku yang tiba-tiba muncul dari dapur. Mungkin mereka baru selesai makan malam,
pikirku.
“Ayah,
Kakak mutusin buat batalin rencana beli mobilnya. Hehehehe. Kakak tunda aja sampai
beberapa tahun ke depan. Gak apa-apa kok, hehehe. Soalnya kalau sekarang, kayaknya
terlalu maksa, mungkin Tuhan gak suka,” jawabku sambil mencoba terlihat biasa
saja di depan mereka—namun gagal.
Sehari, dua
hari, tiga hari berlalu, aku masih—setidaknya, berusaha—biasa saja.
Hingga suatu sore di hari Sabtu, ibuku masuk ke kamar dan memaksaku mandi.
Maklum saja, aku mengharamkan mandi di hari libur. Maksudku, ah....ayolah! Kalian semua juga melakukan hal sama, kan?
Susah payah menolak, tetapi ibu semakin galak. Rupanya ibumeminta memaksa aku ikut dengannya. Entah ke mana, aku tidak tertarik untuk tahu.
Susah payah menolak, tetapi ibu semakin galak. Rupanya ibu
“Stop
sini, Pak!” ibuku berkata tiba-tiba pada pengemudi taksi.
Aku
yang sedari tadi mencoba tidur sepanjang perjalanan, kini mengerjap-ngerjap
mencari kesadaran. Ada jeda beberapa detik begitu aku menangkap keberadaan
kami. Mungkin karena nyawaku belum menyatu seluruhnya, atau aku yang kelewat
depresi tentang si kereta roda empat idaman, sehingga aku merasa sedang berada di…. Ah,
sudahlah!
“Loh, Bu. Kita mau ngapain kesini?” tanyaku setelah kami turun dari taksi.
“Lahaciaaaa~”
jawab ibuku asal.
“Udah,
jangan bawel!” tambah adikku seraya menarik tanganku agar mengikuti mereka ke
dalam sebuah gedung perkantoran yang terletak di kawasan Thamrin, Jakarta
Pusat.
Wajahku
masih mengekspresikan ‘apa-apan-sih-ini’
sedari tadi. Namun belum sedikit pun terjawab, seorang sales counter mendatangi kami. Semakin dipenuhi pertanyaan dan rasa
kesal karena tidak juga mendapat jawaban, aku merengut minta dijelaskan. Hingga malam
hari sepulangnya kami dari—well,
tempat absurd sore tadi, ayah
menyambut kami.
“Gimana?”
tanya beliau penasaran, namun wajahnya geli menahan senyuman.
“Ayah….ini
serius?” tanyaku menuntut penjelasan.
“Ya
iyalah. Ibu sudah bayar kan tadi?” kata ayah, retorik.
“Setengahnya,”
jawab ibuku santai. “Setengah lagi, urusan kakak” beliau melanjutkan
sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Malam
itu, akhirnya ayah menjelaskan behind the
scene dari kejadian hari ini. Sementara aku mendengarkan dengan seksama dan masih tidak percaya.
Rupanya
ayah dan ibu sepakat menggabungkan uang mereka hingga mencapai setengah dari
total harga mobil impianku. Mereka mencari info ke sana- ke sini mengenai spesifikasi mobil, harga mobil, dan perintilan-nya tanpa sepengetahuanku. Begitu info yang mereka dapatkan
sudah lengkap, barulah mereka beraksi ke tahap berikutnya, yaitu mengajakku ke showroom Mazda Thamrin dan langsung
membayar tanda jadi terhitung separuh
harga mobil yang telah disepakati. Setengahnya lagi? Mereka sengaja menyerahkannya padaku.
*aku butuh beberapa menit untuk
mencerna semua itu*
Terus
terang, aku sempat menolak begitu tahu bahwa mereka campur tangan perihal permbayaran. Bukan apa-apa, aku hanya tidak terbiasa dihadiahkan
sesuatu—heeeey, apalagi ini sebuah mobil—oleh ayah ibuku. Terpikir pun tidak. Kami bukan
keluarga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata. Kami keluarga biasa, namun
bersahaja. Orangtuaku mendidik kedua anaknya—aku dan adikku—untuk hidup
sederhana, tahu batas dan bekerja keras. Terbukti, kami bukan anak manja yang suka merengek
minta dibelikan sesuatu oleh orangtua. Aku sudah terlatih menahan ego kekanak-kanakanku dan terbiasa menabung sedikit demi sedikit untuk mendapatkan sesuatu yang
kuinginkan. Ajaran itu berlanjut sedari kecil hingga aku dewasa, sehingga wajar bagiku jika
kini aku menolak saat ayah dan ibu membayar setengah harga mobil yang aku
idamkan.
Dari kecil Kakak gak pernah minta
macem-macem sama Ayah, Ibu. Kakak selalu nurutin kata Ayah. Padahal temen-temen
Ayah sering cerita, anaknya susah diatur, banyak minta beliin ini-itu. Makanya Ayah bersyukur banget sama
Tuhan, dikasih anak kayak Kakak. Jadi anggap saja ini hadiah buat seorang anak
yang selama 21 tahun bertahan dalam kesederhanaan, gak pernah menuntut dan
selalu bersyukur bagaimana pun keadaan keluarga….
Begitulah kalimat penjelasan ayah yang aku ingat, selebihnya tidak mampu kudengar lagi karena aku tengah disibukkan
oleh genangan air mata yang berusaha kutahan.
Aku mensyukuri semua ini sebagai berkah dari Tuhan. Dalam hati, aku
berjanji untuk mengganti setengah harga mobil yang mereka bayarkan, begitu selesainya aku melunasi cicilan. Walau aku
paham, seluruh pengorbanan orangtua tidak akan terbalaskan. Mungkin bagi
sebagian anak seusiaku, ini tak lebih dari omong kosong yang tidak sepatutnya aku banggakan.
Mungkin banyak dari kalian yang bisa dengan mudah meminta dibelikan mobil oleh orangtua. Mungkin beberapa dari kalian juga dengan mudahnya gonta-ganti kendaraan tanpa kendala berat. Bahkan mungkin banyak dari kalian yang tertawa begitu membaca ceritaku ini. Tidak apa. :’)
Sebab
bagiku, ini istimewa. Bukan tentang mobil mewah yang aku
impikan. Namun tentang betapa baik dan kerennya Tuhan karena memberiku keluarga yang luar
biasa. Bodohnya aku, baru menyadari bahwa hadiah termewah bukanlah barang
seharga sekian rupiah. Kali ini, aku paham mata kuliah yang diajarkan Tuhan. Pertama, selalu ada berkah untuk manusia yang berusaha. Kedua, bersyukur adalah cara manusia memetik berkah-Nya.
Pada akhirnya, berada di tengah keluarga—ayah, ibu dan adikku, adalah sebenar-benarnya hadiah termewah yang aku punya. Keluarga adalah berkah melimpah, harta paling indah.
*
* *
Pupil
mata wanita itu kian melebar, wajahnya penuh haru dan berbinar. Wanita itu
kembali menyandarkan tubuhnya di sofa empuk, tempatnya biasa duduk. Ia menoleh
ke jendela di dekatnya. Matanya terpaku pada sebuah sedan buntung yang
terparkir di luar sana. Mobil keluaran Jepang dengan warna putih dingin itu seolah membalas tatapannya. Seulas
senyum tersungging di wajah mereka.
Senja mulai tampak saat wanita itu mengalihkan pandangannya ke layar komputer jinjing di meja. Segera ia menekan Enter dengan mantap, hingga ketikan—yang
tadi dibaca—nya kini terpampang jelas di blog pribadinya. Ia kembali
mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Kali ini, senyumnya nampak berbeda.
Cerita miliknya baru saja ia ikut sertakan dalam Blogging Quiz
Mazda IIMS 2012. Wanita
itu paham, bahwa Tuhan selalu punya kejutan. Hanya saja, kejutan itu dapat
berupa hadiah atau musibah. Semua tak ada yang tanpa tujuan.
Lagi-lagi
aku mencintai cara Tuhanku bercanda, batin wanita itu. Aku.