Dari
kursi kayu di sudut koridor, aku memandang adikku yang tengah berdesak-desakan
mengantri di depan ruang multimedia sebuah Sekolah Menengah Kejuruan
Penerbangan di Jakarta Selatan. Ia sedang mendaftar ulang. Masih terekam jelas
di ingatanku, betapa gembiranya ia saat mengetahui dirinya lolos saringan masuk
di sekolah tersebut. Aku sedang bekerja saat menerima kabar darinya sore itu.
Ah, segera ku bereskan pekerjaanku dengan hati bahagia, agar bisa lekas pulang
ke rumah.
"Besok
temenin gue daftar ulang ya Kak" pintanya.
"Cium
dulu!" candaku seperti biasa tiap kali menjawab permintaannya.
Pagi
ini, aku begitu semangat melepaskan kehangatan kasur dan selimut tercinta.
Bergegas mandi dan sarapan, lalu mengantar kesayanganku ini ke sekolah
barunya.
Dan
di sinilah aku. Duduk dengan keringat mengucur deras di pelipisku. Panas Jakarta
sedang kurang bersahabat hari ini. Riuh suara para wali murid yang ikut
mengantar anaknya daftar ulang. Wajah bahagia dan penuh bangga jelas terlihat
di sana. Sama sepertiku. Duduk kepanasan dan berkeringat begini masih tidak
mampu melunturkan rasa bangga pada adik lelaki bertubuh besar yang berdiri di
sana. Aku terus memandangnya dari kejauhan, sementara pikiranku kembali
melayang pada hari dimana aku, adikku dan orangtua kami terlibat pembicaraan
serius tentang ini.
Orangtua
kami kurang setuju dengan keinginan adikku melanjutkan pendidikan ke SMK, dan
mengarahkan adikku untuk memilih SMA. Alasannya jelas, karena selulusnya adikku
dari sekolah menengah atas, ia diarahkan untuk melanjutkan pendidikan ke dunia
perkuliahan, bukan langsung bekerja. Namun adikku, yang sama sepertiku, begitu
mengidolakan sosok Bacharuddin Jusuf Habibie, ingin melanjutkan pendidikan di
SMK Penerbangan. Belum lagi, cita-citanya yang ingin menjadi pilot semakin
membulatkan keinginannya.
“Gue
mau jadi pilot, kak. Lulus dari SMK Penerbangan kan gue bisa lanjut sekolah
pilot. Kalaupun akhirnya nggak bisa jadi pilot karena mata gue minus, minimal
gue yang bikin pesawatnya, kayak pak Habibie,” begitu selalu ia menjelaskan
padaku.
Maka,
aku menjadi orang pertama yang menyetujui keputusannya untuk mendaftar di SMK
Penerbangan. Ia gembira. Aku pun.
Aku
hanya tak ingin ia menempuh pendidikan yang tidak sesuai keinginannya. Aku
hanya tak ingin jagoanku ini belajar dengan terpaksa. Aku hanya tak ingin
melihatnya tersiksa dengan segala kerumitan yang muncul bukan atas pilihannya.
Aku hanya tak ingin hidupnya disetir oleh rasa takut pada orangtua.…sepertiku,
dulu.
Ah,
sudahlah.
Akhirnya,
Sabtu pagi yang lalu, aku dan adikku sengaja mengajak orangtua kami ikut ke
kedai kopi 24 jam yang memiliki jaringan Wi-Fi untuk melihat detik-detik adikku mendaftarkan diri ke
tiga sekolah pilihan secara online. Saat itulah aku meyakinkan orangtuaku untuk
menyetujui dan mendukung pilihan adikku. Aku bahkan berani menjamin mereka
untuk tidak mengkhawatirkan perkara biaya.
“Makasih,
kak” ujarnya diam-diam saat semua selesai dan sesuai rencana.
Aku
bahagia luar biasa.
Hari
ini, banyak doa yang ku rapal dalam diam…
Semoga
Tuhan memeluk segala doa-doa dan harapan tanpa dibuat sia-sia. Semoga Tuhan
menerima amin dari seluruh penjuru semesta. Semoga bahagia kami kemaren dan
hari ini, akan dibuat-Nya berlipat ganda di hari kemudian.