Saya sedang duduk di
depan cermin ketika sahabat terbaik saya datang dengan wajah muram. Ia duduk di
hadapan saya. Terdiam lama menatap saya yang tengah diam menatapnya.
"Have
you ever fall for someone you haven't even met? And you just wish over time if that
someone would ever fall for you too."
Saya tidak menjawab.
"Bahagiaku tidak
bergantung padanya. Tetapi kehadirannya membuatku bahagia. Sampai suatu pagi aku
membaca teks darinya. Ia bilang, ia akan berhenti mendekatiku sebab ia merasa
itu hanya menggangguku. Ia mengira aku bosan dengan segala perhatian yang ia
berikan padaku."
"...nggg oke,
terus?" Akhirnya saya bersuara.
"BAGAIMANA AKU BISA
BOSAN, SEMENTARA SEGALA PERHATIAN DARINYA ADALAH KEBAHAGIAAN?" Ia menjawab
dengan nada tinggi. Ada genangan air di kedua matanya.
"BAGAIMANA IA BISA
BERPIKIR BAHWA AKU MERASA TERGANGGU, SEMENTARA AKU SELALU MENDAPATI DIRIKU KECEWA
TIAP KALI PONSELKU BERDERING NAMUN BUKAN DARINYA?" Pipinya mulai basah. Suaranya
menyiratkan keputus asaan.
"Aku harus bagaimanaaaa?"
Tangisnya pecah.
Saya diam.
"Kau kan tahu, aku
tidak pandai dalam urusan seperti ini. Kalau saja aku mahir, aku tentu tidak
melajang selama ini. Empat tahun tidaklah singkat untuk dilalui sendiri, kau
tahu?" Ia melanjutkan.
Saya masih mendengarkan.
"Lalu ia hadir.
Tidak ada hal istimewa yang ia lakukan padaku, namun kehadirannya membuatku
merasa cukup."
"Sejauh ini
kedekatan kami memang hanya melalui teks dan telepon. Belum sekalipun kami
pernah bertemu. Ia di luar pulau sana, sementara pekerjaanku di sini belum
memungkinkan untuk aku bisa cuti."
"It's
weird and beautiful, yet sad at the same time that you can't meet that someone
whom you're able to hold a long convo with, everyday."
"Aku dan dia adalah
sepasang rindu yang masih dipisahkan temu."
Ia masih bercerita saat sekilas
saya menangkap senyum di bibirnya.
"Aku bahagia sewaktu
ia mengakui kecemburuannya pada seorang pria yang juga mendekatiku. Terlebih lagi,
ia mengenal pria tersebut. Kau tahu? Ia lucu sekali jika sedang cemburu." Senyumnya
merekah.
"Sayangnya ia tidak
tahu, hanya ia yang kubiarkan mendekatiku." Senyumnya kembali hilang.
"Ia bilang sayang padaku.
Namun aku tak turut membalas ucapannya."
"Sampai sekarang ia
tidak tahu, pria yang pernah dicemburuinya itu bahkan tak pernah aku tanggapi. Pun
ia tidak tahu bahwa aku...entah bagaimana--aku berharap tidak mencintainya, tapi
aku punya perasaan padanya. Tidak jelas apa namanya perasaan seperti ini. Tidak
masuk akal. Kami bahkan belum pernah bertemu."
"Itu namanya...cinta,"
ucap saya.
"Tak perlu kau tegaskan,"
balasnya kesal
"Mengapa tidak kamu
jelaskan padanya? Mengapa kamu biarkan ia membenarkan kesimpulannya?" Saya
bertanya heran.
"Karena aku mencintai
dengan tahu diri." Jawabannya membuat saya merinding.
"Maksudmu?" Saya
menuntut penjelasan.
"Dia pria baik. Menyenangkan.
Mempesona dalam kesederhanaan. Punya wajah rupawan dan cukup terkenal. Tak
heran banyak wanita cantik di sekitarnya. Sementara aku, hanya begini adanya."
Wajahnya tertunduk.
"Aku tidak yakin hanya
aku wanita yang ia dekati. Ia punya begitu banyak pilihan di sana. Sementara
aku jauh di sini, dan hanya begini. Aku sadar diri. Tetapi kedekatan ini membahagiakan.
Rumit memang. Kupikir jika aku mengetahui yang sebenarnya, aku pasti akan patah
hati. Kau tahu, ini seperti minum racun yang enak rasanya. Itulah mengapa aku tak
kunjung meminta kejelasan hubungan kami padanya. Ia tak suka ribet, aku pun tak
ingin drama."
"Oh tentu. Silakan tertawa!"
Katanya, begitu melihat saya mematung.
"Jatuh hati pada yang
belum pernah ditemui adalah kebodohan," ucapnya.
"Namun itu bukanlah
kesalahan," saya memotong.
Ia menatap saya.
"What?
People are stupid when they're falling in love," saya menambahkan.
"Kebodohanku memang
keterlaluan. Bahkan saat ia pamit untuk berhenti mendekatiku, aku tidak mengatakan
apa-apa." Ia melemparkan pandangannya ke arah luar jendela.
"It's
ok. Being stupid is better because we learn. In a very hard way. Sometimes."
Saya
mencoba bijak, namun sepertinya gagal.
Ia tersenyum sinis. Saya
bertaruh dalam hati bahwa ia akan meludahi saya beberapa detik lagi. Ah, saya tidak
akan kelepasan sok bijak lagi kalau begitu.
"Atau...ia sengaja memanipulasi
keadaan agar punya alasan untuk menjauhiku? Jadi ini semua hanya skenario agar ia
tak terkesan menyakitiku?" Ia nampak berpikir.
Saya sedikit lega dalam hati
sebab ia tidak jadi meludahi saya.
"Jangan suka membenarkan
kesimpulanmu sendiri!" Saya mengingatkannya.
"Saat ini, aku bahkan
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang seharusnya aku lakukan
dan mana yang tidak," jelasnya dengan wajah kembali tertunduk.
"Aku benar-benar tidak
tahu apakah ia berharap aku mencegahnya atau membiarkannya pergi?"
"Aku tidak ingin salah
memperlakukannya. Entahlah."
"The last things I know
is when you care about someone, you want them to stay."
"..."
"But sometimes, showing
you care means letting them go."
DEG!
Saya menatap sosok sahabat
di depan cermin ini. Saya mematung lagi. Lama sekali.
-FA