February 22, 2013

Secangkir Puisi

segalanya ada, segalanya tersedia, untuk diminum olehnya….
....ia akan memilih isi cangkirnya sendiri

tiga tahun lalu, ia mengejutkan se-bumi raya
isi cangkirnya meluber, kepenuhan entah minuman apa
ia sengaja, sebab ini minuman yang diincar se-bumi raya
“bagaimana ini bisa mengecewakan, sementara ini yang kalian impikan?”
begitu jawabnya, tiap kali mendapati tanya

sedikit-sedikit diteguknya karena penasaran
namun tiba-tiba ia tersedak, ia pusing mendadak
darahnya muncrat, lambungnya menolak
pihak medis mengeluarkan pernyataan
bahwa minuman itu selalu merenggut korban

seorang sahabatnya diam-diam meneguk nikmat
seorang sahabatnya adalah pecandu dosa kelas berat
dituangnya minuman itu ke cangkir seorang sahabat
dituangnya dengan sembarang sebab ia telah sekarat
“teguklah bekasku, secangkir keparat untuk seorang sahabat!”

sementara ia hijrah membawa kesakitannya
masih belum ditemukan obat penawar luka
sendiri, ia berjuang dalam waktu yang lama
sendiri, ia masih menjaga cangkir miliknya
ia meninggalkan segala, namun ia menolak lupa

“sebut aku pengecut, aku tak lagi mau bertemu malaikat maut”
begitu jawabnya, tiap kali mendapati tanya
cangkir kosong masih bersamanya
racun telah melukis noda yang tak kunjung punah
ia meninggalkan segala, namun ia menolak lupa

setahun berlalu, ia menengok cangkir kosongnya
dibesarkan oleh luka,
ia tak lagi menaruh percaya
apatis luar biasa,
ia skeptis dibuatnya

dua tahun berlalu, ia masih setia dengan kekosongannya
banyak rekannya bertanya keheranan
hausnya tak hilang, namun ia tak dijemput kematian
mengapa ia tak segera memilih berbagai jenis minuman?
segalanya ada, segalanya tersedia, untuk diminum olehnya

hari ini, ia membersikan cangkirnya
ada sarang laba-laba di dalam rupanya
ia terkejut, kemudian tertawa
hari ini, ia sudah berwarna
ia menyiapkan cangkir untuk minumannya

hari ini, ia membuka pintu kulkasnya
segala minuman baik langsung menyerbunya
tak peduli di cangkirnya masih ada noda
minuman terbaik pasti bersedia mengisinya

hari ini, ia memastikan lukanya pulih sudah
agar kelak tidak merepotkan minuman pilihannya
cangkirnya tidak sempurna, namun juga tak ada luka
....
hari ini, ia memantaskan diri
ia akan memilih isi cangkirnya sendiri.


Jakarta sore itu,

February 19, 2013

Selasa dan Segenap Usia

Suatu senja di hari Selasa. Wanita dua puluh satu tahun sedang membasuh air ke wajahnya. Tiga kali. Kemudian tangan, mercu kepala, telinga hingga kaki. Ia berwudhu rupanya. Disegerakannya memakai mukenah, lalu duduk di sajadah. Punggung lelahnya disandarkan pada dinding kamar yang baru lebih setahun dihuninya bersama suami.
"Subhanallah… walhamdulillah…wala ilaha illallah…wallahu akbar…"
Bibirnya memuja-muja Tuhan. Suara lembutnya menyejukkan. Pelan serupa bisikan. Matanya memejam, menghayati kalimat suci dalam-dalam. Tangannya mengusap lembut bagian perut. Tampak usia kandungan yang tak lagi muda.
"Subhanallah… walhamdulillah…wala ilaha illallah…wallahu akbar…"
Wajah cantik alaminya memancar tanpa polesan bedak dan riasan. Ia hanya mendandani diri dengan air wudhu lebih dari lima kali dalam sehari.  Di luar sana, langit oranye kian memerah. Pertanda maghrib segera tiba. Ia masih di tempat yang sama. Melantunkan kalimat suci sembari mengusap perutnya. Di luar sana, para muazin di seluruh dunia tengah bersiap mengumandangkan azan.
"Allahuakbar.. Allahuakbar.."
Bersahut-sahutan. Bumi mengingatkan. Memeriahkan semesta dengan seruan. Pergantian siang ke malam. Seorang wanita mulai kesakitan. Pecah ketuban.
Tak ada tanda-tanda sepanjang siang. Seperti hari biasa, sakit perut pun tidak. Sekarang ia kebingungan. Sebagian tubuhnya sudah basah oleh ketuban. Keringat dan air mata bercucuran. Sakit luar biasa tengah ia rasakan.
Seorang pria berperawakan kurus dan berkulit cokelat gelap berlari ke dalam rumah. Mulanya ia sedang memandang langit, bershalawat sembari menunggu maghrib. Begitu mendengar azan, ia bergegas ke masjid. Namun tiba-tiba saja keningnya mengernyit. Secepat cahaya, ia kembali masuk ke dalam rumah. Menghampiri istrinya.
Belum sempat menunaikan Magrib, keduanya terpaksa menyegerakan ke rumah sakit. Istri sekuat tenaga menahan sakit. Suami tak mampu menyembunyikan panik. Inilah kali pertama keduanya berhadapan langsung dengan ambang hidup mati.
Begitu istrinya ditangani dokter serta beberapa suster, ia berlari mencari tempat suci. Napasnya tersenggal, jantungnya berdegup kencang. Ditunaikannya maghrib dengan sederetan sunah, seperti biasa. Seusainya salat, tangannya diangkat. Telapaknya basah, gemetar tak karuan. Kali ini, air matanya pecah. Hanya kepada Tuhan, ia menumpahkan kegelisahannya. Sebab untuk istrinya, ia ingin menjadi luar biasa. Takkan dibiarkannya wanita itu tahu lelah-lelahnya. Takkan dibiarkannya wanita itu kelaparan, walaupun ia sama sekali belum makan. Maka pada pergantian siang ke malam, ia memanjat pohon doanya.
Beberapa orang memasuki musala ketika pria itu bangkit dari sajadahnya. Mereka menunggu isya rupanya. Setelah bersapaan, ia permisi keluar. Langkahnya tergesa-gesa, ia tak mau membiarkan istrinya sendirian saat bertaruh nyawa. Di ruang petak serba putih itu, seluruh momentum sekarat disaksikannya dari dekat. Detik jarum jam dan segalanya bergerak lambat. Lekat-lekat, ia menaruh harap.


Selasa, sembilan belas Februari silam. Sedari azan maghrib hingga isya, seorang wanita menahan sakit luar biasa.

Selasa, sembilan belas Februari silam. Ada sajadah yang basah oleh ketuban. Ada sajadah yang menadah segala harapan. Sajadah meng-amin-kan.

Selasa, sembilan belas Februari silam. Seorang wanita berdiri di ambang kematian. Atas nama azan yang memeriahkan semesta, ia takkan menyerah pada rasa sakitnya.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Seorang pria tak lagi mampu membendung air matanya. Tak peduli seberapa lelah, ia selalu siap melawan ketakutannya.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Ada ketuban pecah saat maghrib datang. Ada bayi merah yang diantar Jibril ke dunia.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Azan isya dan tangis bayi merah saling bersahutan. Pertanda kehidupan dan sepaket kebahagiaan.
Selasa, sembilan belas Februari silam. Sepasang suami istri tengah naik tahta sebagai orang tua. Ibu dan ayah.


Bayi merah yang gendut luar biasa. Berambut halus dan tertidur nyenyak hanya jika perutnya kenyang. Bayi merah gendut yang hari ini berusia 22. Bayi merah gendut yang menolak lupa pada segala perjuangan orangtuanya. Bayi merah gendut yang menjadikan kebahagiaan keluarga sebagai napasnya. Bayi merah gendut yang murka jika mendapati orangtuanya dibuat luka. Bayi merah gendut yang berdoa untuk dipanjangkan usianya agar bisa menjaga senyum tetap merekah di wajah orangtuanya. Bayi merah gendut yang sedang susah payah menahan tangis saat mengetik cerita di sembilan belas Februarinya. Bayi merah gendut yang mencintai ibu dan ayahnya dengan kesederhanaan yang megah.


Di tempat terdekat,

February 14, 2013

Valentine

Siapa peduli hari Valentine,
jika setiap harimu tak pernah absen memanjakanku.
Siapa peduli hari Valentine,
jika pelukmu selalu bisa menghangatkanku.

Nyatanya…saat ini, aku tengah kedinginan. Sendirian.

Untuk apa mengkhususkan empat belas Februari,
kalau sudah jelas aku jatuh cinta padamu setiap hari.
Untuk apa mengkhususkan empat belas Februari,
kalau kebersamaan kita adalah yang aku cari.

Masih di tempat yang sama. Masih setia.

Hanya tertawa melihat gadis SMA diberi Cadbury oleh kekasihnya,
ciumanmu bahkan lebih enak dari cokelat buatan Willy Wonka.
Terhibur saat ada pria menyembunyikan bunga di balik punggungnya,
lalu berjalan menghampiri wanita bergaun merah muda.
Ah, dicintai olehmu bahkan jauh lebih indah dari bunga Sakura.

Kemudian aku meneguk cokelat hangat. Menikmati manis dan pahitnya yang pekat.

Ada pria memakai jas, membuka pintu untuk mempersilakan  wanitanya masuk.
Tiga remaja putri tampak malu-malu di hadapan ketiga pemudanya. Triple date, rupanya.
Di meja ujung sana, sepasang kekasih nampak mesra. Mereka segera menikah.
Lalu mahasiswa berlari ke luar saat kekasihnya di toilet. Mengejar penjual bunga buket.

Sendiri. Sofa sebelahku masih belum terisi. Di kedai kopi ini, aku mengamati.

Lagu-lagu romantis tak berhenti mengalun,
acara televisi bertema Valentine ditayangkan semua stasiun,
Penglihatan merabun karena dicekoki warna merah muda dan marun,
seseorang telah memilih untuk tetap sendiri selama beberapa tahun.

Itu aku…

Tak peduli dunia menuntut penjelasan atas ini,
pengabaian telah membuat mereka sakit hati.
Mereka menuduh, mencaci dan menertawai,
seseorang masih tetap tak menaruh peduli.

Aku mendapati diriku menyeringai sendirian.
Teringat pernah dituduh (maaf) lesbi oleh mereka yang ku abaikan….
Lihat aku, Semesta!
Aku masih baik-baik saja.
Hari Valentine tidaklah semenggoda itu.
Dan aku masih nyaman dengan kesendirianku.

Seorang wanita masih belum pulih,
masih menolak sakit lagi,
Entah hingga kapan...
Mungkin sebulan, atau sampai hari Valentine tahun depan

Lihat aku, Semesta!
Iya, aku pencari perhatian.
Lihat aku, Semesta!
Aku memberi tantangan.

Hanya wanita kuat yang bertahan dalam kesendirian.
Hanya wanita berani yang menyembuhkan lukanya sendiri.

Namun…

Akan ada pria yang mencintainya dengan sederhana, meluluhkan ia yang keras kepala.
Akan ada pria yang membuatnya lupa bahwa ia pernah terluka.



di sudut kedai kopi,

February 11, 2013

#PerkaraKita

Ada saat dimana kesendirian menuntut kebersamaan dengan alasan “semua diciptakan berpasang-pasanganan”. Sayang, teori sederhana itu tak berlaku untuk perkara Kita.


 Karena dari sekian banyak kita, ada Kita yang tidak ada di catatan Tuhan.
Kita adalah sepasang jodoh yang takdirnya tidak untuk bersatu.
Kita serupa kesempurnaan yang babak belur menjaga rindu.
*
Kita rangkaian dari kebetulan-kebetulan yang menolak segala teori Semesta.
Kita bak medan magnet Selatan - Utara. Saling tarik menarik dan menolak pisah.
Kita ‘lah rumus sederhana yang kerumitannya mengalahkan logaritma.
Kita bersanding di poros bumi. Dan khatulistiwa sebagai kelambu di malam pertama.
**
Kita tak ubahnya anyaman rotan pada kursi tua di sebuah desa,
saling mengaitkan simpul dan menolak digerogoti rayap.
Kita seabadi kisah-kisah lama. Lebih menarik dari sejarah bangsa,
legenda nyata sepanjang masa.
Kita paling durhaka. Mengubah arah anak panah cupid semaunya.
Kita berjuluk cahaya pagi yang mengkhianati fajar,

terburu-buru terbit sebelum pagi datang.
Kita ibarat petir yang menyambar, membelah langit demi pertemuan.
***
Kita adalah sabda-sabda yang dirahasiakan para nabi.
Kita 'lah sajak-sajak yang tak pernah menjadi puisi.
Kita adalah kesempurnaan struktur atom tanpa elektron.
Kita 'lah partikel yang menyusun lukisan 'Wanita Dari Firenze' karya Da Vinci.
Kita adalah kegelapan yang dirindukan pijar, warna-warni yang diharamkan pelangi.
**
Kita 'lah kelipatan dosa yang dibaptis surga.
Kita adalahlah kematian yang bereinkarnasi tanpa aturan.
Kita 'lah sepasang kekasih yang melukis senja di ufuk timur,
kemudian menabur bintang di tengah siang.
*
Kita adalah pengkhianat takdir paling angkuh yang pernah ada,
kemudian mengalah pada Semesta.
Bukan karena lelah, bukan pula menyerah. 
Hanya saja, kita menaruh koma. 
Jeda.


yang menolak lupa,