September 27, 2012

A to Z

"One day you can feel 'A', then another day you can feel 'Z'.
People change, aren't they?"

September 26, 2012

Who Loves You


"I've learned that more you force someone to leave you, then more you know who insists to stay is the one who truly loves you."
-Febie Arimbhie

September 22, 2012

Hadiah Termewah

“Hhhh….” helaan nafas seorang wanita yang menyandarkan tubuhnya di sofa. Sore itu, cahaya senja menembus jendela sebuah kedai kopi berdesain klasik dengan gaya khas Amerika.
Hampir lima jam ia duduk di sana, sendirian. Seluruh pelayan hingga petugas parkir kedai kopi yang terletak di Barat kota Jakarta itu sudah mengenal baik tamu langganannya ini. Mereka hapal betul kebiasaan wanita 21 tahun yang tidak pernah absen datang—walau hanya sekali—dalam seminggu. Wanita berpenampilan simpel dan sedikit cuek itu menyeruput Green Tea Frappe, setelah melahap Red Velvet Cupcake dan segelas Hazzelnut Latte—seperti biasa. Ia mengelap kacamata minus-cylinder miliknya dengan kain khusus, lalu kembali menegakkan tubuh setelah kacamata itu memagari indera penglihatan di wajahnya. Lekat-lekat ia tatap layar komputer jinjing di hadapannya. Di sana terpampang jelas barisan kata yang menyusun sebuah cerita. Perlahan, ia membacanya. Perlahan, ia menghidupkan kembali ingatannya....
* * *
 “Terimakasih, Pak” ucapku sambil tersenyum pada seorang petugas keamanan yang membukakanku pintu keluar.
“Iya, silakan. Terimakasih kembali” jawabnya ramah.
Aku berjalan gontai menuju taksi yang tadi mengantarku ke sini. Karena enggan mencari taksi lagi, aku sengaja memintanya menunggu dengan argo yang tetap dinyalakan.
“Pak, tolong antar saya ke Kebon Jeruk,” pintaku pada pengemudi.
Taksi mulai merayap dan membaur dalam kemacetan kota, seiring dengan angan dan harapanku yang melebur diserap senja.
Iya. Ini perkara mewujudkan angan dan harapan. Aku berangan-angan membeli sebuah kendaraan impian dengan uang hasil keringatku sendiri. Bahkan sedari empat tahun lalu, aku membuka rekening tabungan yang setiap bulannya tak pernah lupa ku isi sehabis menerima gaji. Namun jumlah tabungan rupanya baru menembus setengah harga saja.
Beberapa hari lalu sudah kuceritakan tentang ini kepada ayah, ibu, dan adikku. Singkat cerita, mereka menyimpulkan bahwa aku masih memiliki dua kemungkinan. Meminjam sejumlah uang di bank, atau membeli kendaraan dengan prosedur kredit (DP di awal + cicilan tiap bulan). Tetapi mereka tidak lupa mengingatkanku untuk berpikir matang-matang sebelum mengambil keputusan. Aku bisa saja bersabar hingga beberapa tahun ke depan sampai jumlah tabunganku cukup untuk membeli mobil idaman. Tetapi bukankah pertambahan jumlah tabunganku beberapa tahun ke depan, berbanding lurus dengan perubahan harga kendaraan dan ketersediaan jenis/tipenya? Lagipula, aku sudah mengkalkulasi perkiraan pengeluaran antara jika-aku-sudah-memiliki-kendaraan-pribadi, dengan saat-aku-belum-memiliki-kendaraan-pribadi. Hasilnya sedikit mengejutkan, sebab ku pikir pengeluaranku akan jauh lebih besar ketimbang sekarang. Rupanya dugaanku meleset. Inilah mengapa tekadku semakin bulat untuk segera memarkir kereta roda empat di halaman rumah.

Bukankah hidup memang tentang memperjuangkan sesuatu yang layak? , batinku.
Maka disinilah aku sekarang. Terduduk lunglai di dalam taksi yang tadi mengantarku ke sebuah bank. Setelah melalui prosedur yang rumit dan cukup lama, tibalah namaku dipanggil oleh petugas bank. Sayang, pihak bank rupanya menolak pengajuanku karena sebuah alasan. Masa kerjaku di kantor belum memenuhi syarat yang mereka tentukan—yaitu tidak kurang dari dua tahun, sementara saat itu aku belum genap setahun.
“Capek, Ka? Udah makan?” kalimat pertama dari ibu, setelah beliau menjawab salamku setiba di rumah. Aku menyandarkan tubuh di kursi ruang tengah sambil menunggu ibu menyiapkan makan malamku.
“Gimana, Ka?” tanya Ayah dan adikku yang tiba-tiba muncul dari dapur. Mungkin mereka baru selesai makan malam, pikirku.
“Ayah, Kakak mutusin buat batalin rencana beli mobilnya. Hehehehe. Kakak tunda aja sampai beberapa tahun ke depan. Gak apa-apa kok, hehehe. Soalnya kalau sekarang, kayaknya terlalu maksa, mungkin Tuhan gak suka,” jawabku sambil mencoba terlihat biasa saja di depan mereka—namun gagal.
Sehari, dua hari, tiga hari berlalu, aku masih—setidaknya, berusaha—biasa saja. Hingga suatu sore di hari Sabtu, ibuku masuk ke kamar dan memaksaku mandi. Maklum saja, aku mengharamkan mandi di hari libur. Maksudku, ah....ayolah! Kalian semua juga melakukan hal sama, kan?
Susah payah menolak, tetapi ibu semakin galak. Rupanya ibu meminta memaksa aku ikut dengannya. Entah ke mana, aku tidak tertarik untuk tahu.
“Stop sini, Pak!” ibuku berkata tiba-tiba pada pengemudi taksi.
Aku yang sedari tadi mencoba tidur sepanjang perjalanan, kini mengerjap-ngerjap mencari kesadaran. Ada jeda beberapa detik begitu aku menangkap keberadaan kami. Mungkin karena nyawaku belum menyatu seluruhnya, atau aku yang kelewat depresi tentang si kereta roda empat idaman, sehingga aku merasa sedang berada di…. Ah, sudahlah!
“Loh, Bu. Kita mau ngapain kesini?” tanyaku setelah kami turun dari taksi.
“Lahaciaaaa~” jawab ibuku asal.
“Udah, jangan bawel!” tambah adikku seraya menarik tanganku agar mengikuti mereka ke dalam sebuah gedung perkantoran yang terletak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Wajahku masih mengekspresikan ‘apa-apan-sih-ini’ sedari tadi. Namun belum sedikit pun terjawab, seorang sales counter mendatangi kami. Semakin dipenuhi pertanyaan dan rasa kesal karena tidak juga mendapat jawaban, aku merengut minta dijelaskan. Hingga malam hari sepulangnya kami dari—well, tempat absurd sore tadi, ayah menyambut kami.
“Gimana?” tanya beliau penasaran, namun wajahnya geli menahan senyuman.
“Ayah….ini serius?” tanyaku menuntut penjelasan.
“Ya iyalah. Ibu sudah bayar kan tadi?” kata ayah, retorik.
“Setengahnya,” jawab ibuku santai. “Setengah lagi, urusan kakak” beliau melanjutkan sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Malam itu, akhirnya ayah menjelaskan behind the scene dari kejadian hari ini. Sementara aku mendengarkan dengan seksama dan masih tidak percaya.
Rupanya ayah dan ibu sepakat menggabungkan uang mereka hingga mencapai setengah dari total harga mobil impianku. Mereka mencari info ke sana- ke sini mengenai spesifikasi mobil, harga mobil, dan perintilan-nya tanpa sepengetahuanku. Begitu info yang mereka dapatkan sudah lengkap, barulah mereka beraksi ke tahap berikutnya, yaitu mengajakku ke showroom Mazda Thamrin dan langsung membayar tanda jadi terhitung separuh harga mobil yang telah disepakati. Setengahnya lagi? Mereka sengaja menyerahkannya padaku.
*aku butuh beberapa menit untuk mencerna semua itu*
Terus terang, aku sempat menolak begitu tahu bahwa mereka campur tangan perihal permbayaran. Bukan apa-apa, aku hanya tidak terbiasa dihadiahkan sesuatu—heeeey, apalagi ini sebuah mobil—oleh ayah ibuku. Terpikir pun tidak. Kami bukan keluarga yang tingkat ekonominya di atas rata-rata. Kami keluarga biasa, namun bersahaja. Orangtuaku mendidik kedua anaknya—aku dan adikku—untuk hidup sederhana, tahu batas dan bekerja keras. Terbukti, kami bukan anak manja yang suka merengek minta dibelikan sesuatu oleh orangtua. Aku sudah terlatih menahan ego kekanak-kanakanku dan terbiasa menabung sedikit demi sedikit untuk mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Ajaran itu berlanjut sedari kecil hingga aku dewasa, sehingga wajar bagiku jika kini aku menolak saat ayah dan ibu membayar setengah harga mobil yang aku idamkan.
Dari kecil Kakak gak pernah minta macem-macem sama Ayah, Ibu. Kakak selalu nurutin kata Ayah. Padahal temen-temen Ayah sering cerita, anaknya susah diatur, banyak minta beliin ini-itu. Makanya Ayah bersyukur banget sama Tuhan, dikasih anak kayak Kakak. Jadi anggap saja ini hadiah buat seorang anak yang selama 21 tahun bertahan dalam kesederhanaan, gak pernah menuntut dan selalu bersyukur bagaimana pun keadaan keluarga….
Begitulah kalimat penjelasan ayah yang aku ingat, selebihnya tidak mampu kudengar lagi karena aku tengah disibukkan oleh genangan air mata yang berusaha kutahan.
Aku mensyukuri semua ini sebagai berkah dari Tuhan. Dalam hati, aku berjanji untuk mengganti setengah harga mobil yang mereka bayarkan, begitu selesainya aku melunasi cicilan. Walau aku paham, seluruh pengorbanan orangtua tidak akan terbalaskan. Mungkin bagi sebagian anak seusiaku, ini tak lebih dari omong kosong yang tidak sepatutnya aku banggakan. Mungkin banyak dari kalian yang bisa dengan mudah meminta dibelikan mobil oleh orangtua. Mungkin beberapa dari kalian juga dengan mudahnya gonta-ganti kendaraan tanpa kendala berat. Bahkan mungkin banyak dari kalian yang tertawa begitu membaca ceritaku ini. Tidak apa. :’)
Sebab bagiku, ini istimewa. Bukan tentang mobil mewah yang aku impikan. Namun tentang betapa baik dan kerennya Tuhan karena memberiku keluarga yang luar biasa. Bodohnya aku, baru menyadari bahwa hadiah termewah bukanlah barang seharga sekian rupiah. Kali ini, aku paham mata kuliah  yang diajarkan Tuhan. Pertama, selalu ada berkah untuk manusia yang berusaha. Kedua, bersyukur adalah cara manusia memetik berkah-Nya.
Pada akhirnya, berada di tengah keluarga—ayah, ibu dan adikku, adalah sebenar-benarnya hadiah termewah yang aku punya. Keluarga adalah berkah melimpah, harta paling indah.
* * *
Pupil mata wanita itu kian melebar, wajahnya penuh haru dan berbinar. Wanita itu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa empuk, tempatnya biasa duduk. Ia menoleh ke jendela di dekatnya. Matanya terpaku pada sebuah sedan buntung yang terparkir di luar sana. Mobil keluaran Jepang dengan warna putih dingin itu seolah membalas tatapannya. Seulas senyum tersungging di wajah mereka.
Senja mulai tampak saat wanita itu mengalihkan pandangannya ke layar komputer jinjing di meja. Segera ia menekan Enter dengan mantap, hingga ketikan—yang tadi dibaca—nya kini terpampang jelas di blog pribadinya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Kali ini, senyumnya nampak berbeda. Cerita miliknya baru saja ia ikut sertakan dalam Blogging Quiz Mazda IIMS 2012. Wanita itu paham, bahwa Tuhan selalu punya kejutan. Hanya saja, kejutan itu dapat berupa hadiah atau musibah. Semua tak ada yang tanpa tujuan.
Lagi-lagi aku mencintai cara Tuhanku bercanda, batin wanita itu. Aku.

September 19, 2012

Tuhan Dan Selera Humor-nya ... (part 2)

Tanpa bermaksud menjadikan kelakuan mereka sebagai hiburan, gue beneran terhibur. Ya gimana dong? Gue kan jujur. HAHAHAHAHApabangetsihgueeee~ Well, gue memang bukan orang suci. Pun bukan orang yang berdandan religi. Gue biasa, namun berbeda. *asik!* Setidaknya gue konsisten menuhankan Tuhan, bukan menjadikan-Nya sabun ‘cuci tangan’. Tuhan ya Tuhan. Yang tiap-tiap kita tidak mampu menyamai se-persekian-juta-Nya. Tuhan ya Tuhan. Pemilik waktu yang tak berbatas dan ruang yang tak berpijak. Tuhan ya Tuhan. Nama-Nya terlalu tabu dicantumkan dalam 'permainan'.
Tapi....harus se-serius itukah? Kata siapa Tuhan tidak pernah bercanda?
Tuhan memang gak pernah main-main, tetapi Tuhan masih memiliki selera humor. Memang kalian pikir, dari mana sifat humoris kalian berasal(?)
Lihat saja! Kerap kali Tuhan gemar mengajak kita bercanda lewat kejadian-kejadian gak masuk akal di hidup kita. Seolah mempermainkan, padahal itu bagian dari uji kelayakan. Jika lolos, kelak surga-Nya siap dihuni. Jika sebaliknya, maka neraka-Nya sudah berdandan rapi menunggu kita mati. Ya setidaknya begitulah imajinasi gue. Perkara agama, menurut gue konsep dasar dari (hampir) semua agama adalah sama. Tentang kebaikan. Tentang kehidupan.
Tuhan punya selera humor yang tinggi. Begitu mudahnya Ia memberi, dalam sekejap menariknya kembali. Dari situ....gue selalu belajar bersyukur dan tidak mendadak cengeng ketika menerima kegagalan. Gue belajar menyikapi segala hal sesuai porsinya. Gue belajar merentangkan tangan ketika seseorang datang, dan mendoakan jika suatu hari seseorang pergi. Gue belajar menerima saat pertemuan dan merelakan adanya perpisahan. Gue belajar sebijak mungkin agar seimbang. Gue masih belajar….
Menurut gue, takdir Tuhan akan hidup seseorang itu bukan sesuatu yang mutlak dan simbolisasi kemurkaan-Nya. Iya, itu tak lebih dari cara Tuhan mengajak kita bercanda. Unik memang. So don’t take it like seriously. Cukup respon balik candaan-Nya dengan santai dan legowo tanpa mengurangi semangat juang.
Yo guys, challenge accepted! \m/
Dan jika suatu hari lo berada di puncak kelelahan, jangan langsung bilang “GAK LUCU!!!!” kemudian mem-vonis Tuhan jahat sama lo. Ajak Dia berkomunikasi tiap kali lo selesai ibadah. Jangan lelah untuk mengulanginya. Jangan menjauh dan hilang percaya. Tuhan bisa luluh, kalau kita juga bersungguh-sungguh. Semua hal yang terjadi sama kita itu atas kuasa Tuhan. Jadi kalau kita menginginkan sesuatu, mintanya juga sama Tuhan. Bukan minta sama dukun, paranormal, dan kawanannya.
Kenapa?
Simpel aja. Menurut lo, yang ciptain dukun, paranormal, dan kawanannya itu siapa? Ayam?
*hening*
Semesta ada karena siapa? Nah, memohonlah pada-Nya. Dengan begitu, semesta akan turut meng-amin-kan tiap-tiap pengharapanmu.
Caranya?
Bernegosiasi dengan Tuhan lewat usaha dan doa. Dan jangan lupakan....cinta. Iya, cinta. Ah, gue sih sebenernya agak najis kalau bahas cinta. Udah skeptis duluan. Makanya, bagian satu ini gue skip aja. *straight face*
Well, gue sering nangkep basah diri gue sendiri lagi cekikikan geli dalam hati tiap kali ngeliat orang yang cuma ngeluh dan sibuk meratapi nasib mereka yang enggak maju-maju, sementara mereka gak mau susah payah berusaha. Haha, jagoan! Kenapa harus buang-buang waktu mengasihani diri sendiri? Semesta tidak diciptakan untuk menunggumu berkeluh-kesah, kawan. Ayolah, jangan hanya bermimpi! Jendralmu adalah dirimu sendiri. Mulailah berusaha. Genapi dengan doa. Lalu nikmatilah cara Tuhanmu bercanda.

Aku berlindung kepada Sang Maha, dari nista yang melingkari semesta.
Dengan menyanggupi segala mau-Nya, yang maha nyata lagi maha tak terduga.
Maha benar Tuhan dengan selera humor-Nya.



yang tak gemar menyembah-Nya di keramaian,

September 17, 2012

Tuhan Dan Selera Humor-Nya

Terlalu sensitif ketika mulai berbicara tentang Tuhan. Serba salah pun. Tetapi buat gue, selalu menarik karena ada sensasi menyenangkan tiap kali mendengar atau membicarakan tentang ‘area sensitif’ satu ini. No guys, I’m not talking about sex.
Here….
Enggak sekali-dua kali gue denger temen-temen gue bilang bahwa gue berani, cuek, sarap, frontal, bahkan terkesan enggak takut sama apapun. Enggak jarang mereka juga teriak “ELLLLOOOO SSSSAKIIIITTTT JIWWWWA!!!!” sambil geleng kepala dan pasang muka….entahlah. Semacam ekspresi dari pergumulan rasa takjub, kagum, terkesima, salut, terheran-heran, syok, marah, terpukul, depresi, dan meragukan kewarasan gue. Wait, what? Okay, stop it. Gue gak mau di bully. Cuma gegara salah paham mengira ini blog narsis whatever blablabla. Gue bahkan enggak tau harus tanggapin itu sebagai pujian atau hinaan. (kayaknya sih hinaan….bye!)
So far, gue mengabaikan.
Kenapa?
Yaa gak lucu aja kalau tiba-tiba gue tanggapin dengan jawaban serius lalu obrolan panjang lebar tentang iman dan ketuhanan. Selain momennya yang (alhamdulillah) enggak pernah tepat, banyak dari mereka yang menganggap bahwa obrolan semenarik apapun—sekali lagi, APAPUN—kalau mulai melipir ke ‘area sensitif’ itu, mendadak jadi enggak menarik untuk diteruskan.
So, yeah. Tiap kali obrolan mereka yang mulai mengarah ke ‘area sensitif’, kerap kali gue respon dengan seringai andalan gue. "Seringai setan!" mereka bilang. Membosankan.
Lalu, apa yang menarik?
Menurut gue, saat beberapa dari mereka mendadak menjadi orang suci dan taat agama begitu hidupnya kehilangan roda kemudi. Namun berbalik menjadi sebuas hewan setelah menyandang kemapanan. Sebaliknya, banyak juga yang mengagungkan Tuhan begitu diberi kenikmatan dalam berbagai pencapaian. Namun berbalik memaki Tuhan dengan sumpah serapah kala kehidupannya hijrah ke golongan bawah.
Lucuk. Lucu pake k. Lucuk. Menurut gue itu lucu banget. Like seriously, gue beneran lagi ketawa sambil ngetik ini…. *DAMN!!!!* X’))
Well, gue enggak bermaksud menyudutkan siapa-siapa. Pun enggak bermaksud ceramah agama. Gue cuma share tentang tontonan favorit gue aja.
Yep. There's no typo detected. Ulah mereka memang tontonan favorit gue. You know….sekarang udah jarang banget film ataupun serial yang based on true story. Sementara gue disuguhkan ‘reality drama’ maha karya Tuhan. Gak tanggung-tanggung, pemerannya adalah si pelakon asli dan disiarkan LIVE pula. Yes! Tuhan lagi asik diajak kerjasama. Selera humor-Nya gak ada dua! Hahaha~
p.s. : adanya postingan ini tidak menjamin admin blog ini selamat dari beberapa orang yang menjadikannya tontonan dan merasa senang juga atas selera humor Tuhan. Yes. What you give is what you get. That’s life. If you know what I mean. So….berbahagialahahaha!



yang tidak sedang di tempat ibadah,
Febie.